Oleh: Dahlan Iskan
Kemarin Yanto mengajak saya keliling pabrik porang yang didirikan ayahnya itu. Anak Yanto, Johan, juga ikut menemani. Badannya lebih tinggi lagi dari bapaknya.
Seperti juga bapaknya, Johan dan 3 saudaranya sekolah di Jepang: di Washeda University, Tokyo. Johan mengambil jurusan teknik industri. Johanlah yang kelihatannya akan meneruskan pabrik itu dari kakek dan ayahnya.
Nama pabriknya: PT Ambico. Johan senang kini tanaman porang begitu semarak. Itu berarti bahan baku untuk pabriknya tercukupi.
PT Ambico memang pernah kesulitan bahan baku. “Saya hampir menyerah. Pabrik ini pernah hampir kami tutup,” ujar Yanto. “Tapi ayah saya selalu tidak setuju,” ujar Yanto.
Waktu itu tidak ada orang Indonesia yang makan beras atau mie shirataki. Hanya orang Jepang yang suka shirataki. Maka PT Ambico hanya punya satu pasar: Jepang.
“Baru tiga tahun terakhir ini orang Indonesia mulai makan shirataki,” ujar Johan. “Dan kecenderungannya terus meningkat. Kian banyak orang Indonesia yang makan shirataki,” tambahnya.
Saya termasuk yang dimaksud Johan itu. Saya tidak menyangka kalau shirataki itu produk Indonesia. Waktu pertama minta untuk dibelikan shirataki, saya bilang kepada istri: belikan shirateke, beras Jepang itu.
Karena itu saya juga tidak mengeluh ketika harga beras shirataki itu mahal sekali: Rp 100.000/kg. Kan harus didatangkan dari Jepang.
Ternyata itu produk PT Ambico di Indonesia. Yang lokasi pabriknya dekat Sidoarjo tapi wilayahnya masuk Kabupaten Pasuruan.
Johan sendiri tidak menyangka shirataki akhirnya laku di Indonesia. Apalagi pasar domestik shirateke itu terus meningkat. “Sekarang ini, jumlah permintaan dalam negeri sudah sama dengan ekspor,” ujar Johan.