Ditingkat dunia, kata Syamsuddin, hal itu tidak termasuk dalam 10 negara yang terkena dampak sebagaimana dikutip Syamsuddin dari Data WHO yang disajikan dalam presentasinya. Namun, hal itu melahirkan efek samping lain yang berdampak pada pemenuhan hak atas pelayanan kesehatan dan ekonomi (termasuk untuk hidup layak) karena korupsi besar-besaran dari anggaran kesehatan yang seharusnya dinikmati oleh rakyat.
”Korupsi oleh Menteri Sosial dan pejabat lainnya serta politisi telah menjadi preseden buruk dalam penanganan penyakit wabah di Indonesia,” katanya.
Syamsuddin juga mengkritik kebijakan pemerintah yang menerapkan payung hukum Covid-19, seperti UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Menurutnya, UU 24/2007, Pasal 75 dan Pasal 79, tidak mengatur masalah pidana infeksi wabah penyakit. Namun di sisi lain, aparat penegak hukum menjerat pelaku dengan memanfaatkan UU No. 6 Tahun 2008 tentang Karantina Kesehatan yang bukan payung hukum.
”Di sini, anda bisa melihat inkonsistensi aparat penegak hukum dalam menerapkan norma hukum terkait dengan Covid-19,” papar Syamsuddin yang juga Direktur Eksekutif Jenggala Center ini.
Dalam kaitannya dengan masalah hak asasi manusia, Syamsuddin menambahkan bahwa negara sedang menghindari kewajibannya tetapi ingin menghukum rakyatnya sendiri. Penegakan hukum tampak diskriminatif. Hal ini terlihat dari pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan oleh pejabat negara yang tidak diproses secara hukum. Sementara mereka yang menjadi penantang atau oposisi pemerintah langsung diperoses secara cepat.