FAJAR.CO.ID, MILAN—Pemain Italia menjulukinya the Godfather. Julukan yang memang pantas untuk seorang pemimpin sekaligus jawara seperti Antonio Conte.
Anda hanya melakukan apa yang diperintahkannya. Tidak ada bantahan. Ia adalah bos. Menyukai pemain yang berkepribadian besar. Namun, ia membenci pemain yang merasa lebih besar dari dirinya.
Begitulah sosok Conte. Gaya kepemimpinannya itu membuatnya seringkali dikritik. Apalagi ketika ia “menyingkirkan” bintang utama dalam timnya. Akan tetapi, itu juga yang mengantarkan pria kelahiran Lecce, 31 Juli 1969 itu menjadi salah satu pelatih tersukses Italia.
Dan itu pula yang membuat Milan Mei 2019 silam berani membayarnya 12 juta euro atau sekitar Rp208 miliar per musim. Bayaran yang menempatkan Conte sebagai pelatih bergaji termahal di Serie A Italia itu digelontorkan Nerazzurri untuk mengakhiri dominasi Juventus dalam hampir satu dekade terakhir.
Keputusan Inter itu membuat mata orang Italia terbelalak. Pada saat yang sama, fans Juventus menuding eks kapten dan pelatih mereka itu sebagai pengkhianat karena menerima pinangan sang musuh bebuyutan. Fans Juve bahkan sampai menuntut nama Conte di Stadion Allianz dicabut.
Pada akhirnya, keberanian petinggi Inter dan kekhawatiran Juventini terbukti benar. Kemarin malam, The Godfather dan pasukannya dinobatkan sebagai juara Serie A 2020/2021 dengan empat laga tersisa. Scudetto ini sekaligus menjadi akhir dominasi Si Nyonya Tua yang menjadi kampiun sembilan musim beruntun.
Juventus merajai Serie A dan nyaris tanpa rival berarti sejak musim 2011/2012. Sebuah kebetulan, proyek hebat Bianconeri, julukan Juventus itu bermula di tangan Conte. Suami Elisabetta itu memimpin Juventus merampas gelar dari AC Milan yang ia pertahankan hingga musim 2013/2014 sebelum memutuskan pergi.
Senjata Conte tentu saja bukan sekadar ketegasan dan gaya ala-bosnya yang membuat seluruh pemain patuh dan bersatu. Ayah Vittoria itu memang merupakan salah satu ahli taktik terbaik. Bagaimana ia gonta-gonti formasi untuk membentuk tim juara menjadi bukti sahihnya.
Ketika memulai karier kepelatihannya di Bari, ia terkenal karena formasi 4–2–4, modifikasi dari pola klasik 4–4–2. Lalu, selama menjabat pelatih kepala Juventus, ia memenangkan tiga gelar Serie A berturut-turut menggunakan formasi 3-5-2 dengan variannya yang lebih defensif, 5–3–2.
Dalam perjalannya berikutnya, Conte bisa menunjukkan kecerdasan dan ketelitian luar biasa sebagai pelatih. Ia mengadopsi beberapa formasi berbeda dalam upaya menemukan sistem yang paling cocok, menyesuaikan dengan keterampilan pemain. Mulai dari 4–1–4–1, 3–3–4, 4–3–3, 3–5–1–1, 5-4-1, hingga 3-4-3 yang ia perkenalkan di Chelsea.
Perubahan dan penyesuaian taktik itu mengantar Conte meraih banyak gelar. Dan yang teranyar, ia mampu memimpin Inter meruntuhkan kedigdayaan Juventus setelah di musim pertamanya Si Ular Besar hanya finis sebagai runner up.
“Selama bertahun-tahun kami mencoba beberapa opsi berbeda. Kami memulai sedikit seperti kami mengakhiri musim lalu, menekan tinggi di seluruh lapangan, dan itu membawa hasil yang bagus, karena kami finis satu poin di belakang Juventus dan mencapai Final Liga Europa,” kata Conte kepada Sky Sport Italia.
Menurut Conte, di 10-12 pertandingan pertama musim ini, ia mencoba menggunakan taktik yang sama. “Kami berusaha memiliki identitas yang sama. Namun, lawan mempelajari Anda dan kami sering terjebak dalam serangan balik,” jelasnya dikutip dari Football Italia.
Conte menjelaskan, tim juara harus memiliki keseimbangan antara menyerang dan bertahan. Para pemain mesti cerda dan belajar membaca permainan. Tahu kapan harus menekan atau duduk santai di area sendiri, menunggu lawan menyerang.
“Itu adalah tanda dari tim yang matang. Kami berubah sepanjang tahun. Seorang pelatih harus mengerti bagaimana cara menyakiti lawan, tapi juga tidak kehilangan jati diri. Kami tidak pernah kehilangan identitas kami, karena ketika kami menguasai bola, kami tahu persis apa yang harus kami lakukan. Kami juga tahu persis apa yang harus dilakukan saat kami tidak menguasai bola,” ujarnya.
Semenjak kedatangannya, Conte membentuk skuat Inter sesuai dengan citranya dan ia bersyukur mendapat dukungan penuh dari pemain. “Hal terbaik yang saya temukan di Inter adalah grup yang mempercayai saya sepenuhnya. Mereka mempercayai kepemimpinan dan visi saya. Itu adalah hal yang terbesar,” tandasnya.
Direktur Inter, Beppe Marotta yang menjadi sosok kunci kedatangan Conte ke Giuseppe Meazza setelah bekerja sama di Juventus menegaskan, sang pelatih pantas mendapat pujian. “Conte pantas mendapatkan banyak pujian. Pencapaian ini tergantung pada pemimpin hebat seperti Conte,” tegasnya.
Marotta yang awalnya dikritik ketika mendatangkan Conte mengatakan, filosofinya adalah berinvestasi pelatih hebat lebih baik ketimbang membeli satu pemain. “Gaji yang dia terima tercermin dari lemari piala dan CV-nya. Saya mengajukan Conte ke Inter karena saya merasa dia orang yang tepat di saat yang tepat,” tuturnya.
Inter dan Conte belum membuat berkomitmen untuk melanjutkan kerja sama yang lebih panjang. Tapi Marotta sangat yakin mereka akan terus bersama berjuang mempertahankan gelar sekaligus memburu trofi Liga Champions . “Kami akan membicarakannya nanti. Kami ingin menikmati momen luar biasa ini,” kata Marotta. (amr)
Gelar Juara Conte
Pemain
Juventus
Serie A: 1994–95, 1996–97, 1997–98, 2001–02, 2002–03
Coppa Italia: 1994–95
Supercoppa Italiana: 1995, 1997, 2002, 2003
UEFA Champions League: 1995–96
UEFA Cup: 1992–93
Intercontinental Cup: 1996
UEFA Intertoto Cup: 1999
Manager
Bari
Serie B: 2008–09
Juventus
Serie A: 2011–12, 2012–13, 2013–14
Supercoppa Italiana: 2012, 2013
Chelsea
Premier League: 2016–17
FA Cup: 2017–18
Inter Milan
Serie A: 2020–21
UEFA Europa League runner-up: 2019–20