Nasihat Kematian

  • Bagikan

Tulisan AGH Sanusi Baco di Harian FAJAR (Ramadan, 1440 Hijriah)

Orang yang mati biasa disebut wafat. Wafat artinya sempurna. Jadi orang yang mati, sesungguhnya hidupnya telah sempurna, berapa pun usianya saat dia meninggal. Kematian selalu memberi nasihat kepada orang yang hidup bahwa setiap yang hidup akan mati, nasihat agar memperbanyak taubat. Apalagi di bulan Ramadan disebut malam sepuluh kedua adalah malam-malam magfirah, malam pengampunan. Nasihat untuk memperbanyak amal bekal menuju akhirat.

Ada dua peristiwa kematian yang menjadi ujian kesabaran dan keimananku. Pertama, kematian ibuku dan kedua, kematian ibunya anak-anakku. Ibuku, Besse Daeng Ratu adalah perempuan pertama yang kukenal dengan kebersahajaannya. Sehingga saat beliau wafat, kami sekeluarga sangat kehilangan sosoknya.

Malam itu, ibuku yang semakin lemah menghadapi penyakit asmanya yang akut, kemudian menghembuskan nafas terakhirnya. Saya yang pertama melihatnya, tidak bisa digambarkan kematian ibuku yang masih sangat muda dan anak-anaknya masih kecil. Demikianlah kematian itu memisahkan saya dan ibuku.

Usiaku masih sangat muda, seorang saudara perempuanku juga meninggal mendahului ibuku. Jaraknya tidak berselang lama, mungkin asma ibuku semakin kumat akibat kesedihan ditinggal anak gadisnya. Saya piatu sejak usia kanak-kanak.

Kedua, kematian istriku, Dra. Hj. Sitti Aminah tepat tanggal 9 Juli 2002. Peristiwa itu cukup berat terutama dengan melihat anak-anak dan cucuku. Kami telah kehilangan. Betapapun beratnya, kami bersabar menerimanya. Kematian istriku merupakan kali kedua saya ditinggal orang yang sangat saya cintai.

Kenangan terakhirku, istriku masih menemani mendirikan pesantren Nahdlatul Ulum Maros, beliau yang dampingi saya mencari lokasinya. Karena kami berdua kelahiran Maros. Maka memilih Maros menjadi pilihan tepat sekaligus lokasinya lebih terjangkau. Begitu bersemangat, menjelang wafatnya masih menyempatkan diri membeli peralatan asrama pesantren.

Baik ibuku maupun istriku keduanya perempuan yang memiliki telaga cinta tak bertepi. Ibuku sosok penyayang dan penyabar, tidak pernah kulihat keningnya berkerut seberat apapun masalahnya. Demikian juga istriku, selalu memberi solusi berbagai masalah baik dalan keluarga maupun kegiatan luar. Beliau guru dan aktif di beberapa organisasi keagamaan. Tetapi paling diutamakannya adalah pendidikan anak-anak.

Kini, kedua orang yang sangat kami cintai telah wafat. Saya sering ceramahkan bahwa orang yang mati itu seakan berkata, tugasku telah selesai. Selebihnya menjadi tugasku adalah mendidik anak dan cucuku serta pengabdian pada umat. Meski begitu, kehilangan ibu dan istri menyisakan duka sekaligus keikhlasan.

Orang yang mati disebut wafat yang artinya sempurna. Setiap orang yang wafat itu telah menyempurnakan hidupnya. Hanya doa dari anak yang saleh dan keluarga yang mereka nantikan di alam kubur. Jadikan kematian sebagai nasihat. (*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan