FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Viralnya wacana penggusuran makam Putri Sultan Hasanuddin, I Fatimah Daeng Takontu di media sosial kemudian mengundang polemik termasuk di kalangan para sejarawan.
Merujuk pada buku yang ditulis Adi Suryadi Culla, Zainuddin Tika dan Syahrul Yasin Limpo yang berjudul "Profil Sejarah, Budaya dan Pariwasata Gowa" mengulas ketokohan putri Hasanuddin dalam tulisannya berjudul "I Fatimah Daeng Takontu, Garuda Betina dari Timur".
Dijelaskan I Fatimah Daeng Takontu yang lahir pada tanggal 10 September 1659 merupakan hasil perkawinan dari Raja Gowa XVI, I Malombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin dengan gadis bangsawan dari Sanrobone I Daeng Talele.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis terhadap Budayawan Gowa, Djufri Tenribale pada 17 November 1994, gelar Garuda Betina dari Timur yang diberikan kepada Fatimah didasarkan atas sifat kesatriannya yang menonjol, menginginkan penjajahan dimusnahkan. Bahkan katanya, Fatimah tidak segan membantu ayahnya dalam setiap peperangan.
Pasca perjanjian Bongaya, terjadi pro kontra diantara keluarga Sultan Hasanuddin terkait penandatanganan perjanjian tersebut. Namun, Sultan Hasanuddin menegaskan, perjanjian itu ditandatangani bukan karena takut. Akan tetapi demi menyelematkan generasi selanjutnya.
Oleh karena itu, dirundingkanlah strategi untuk tetap melawan Belanda. Karaeng Galesong dan Karaeng Bontomarannu berangkat ke Tanah Jawa melanjutkan perjuangan. Sedangkan Karaeng Karunrung disarankan tetap tinggal di Gowa memimpin sisa-sisa laskar Gowa.