FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Peraturan Menteri Kominfo (Permenkominfo) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat dinilai cacat hukum. Sebab, aturan tersebut memuat berbagai hal yang seharusnya hanya bisa diatur melalui payung hukum sekelas undang-undang.
Permen itu mengatur siapa pun yang memproduksi atau mengumpulkan data-data elektronik di dunia maya. Baik oleh pengelola maupun pengguna (user generated content).
Dosen dan peneliti Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga Herlambang Wiratraman menjelaskan, Permenkominfo 5/2020 memuat berbagai hal tentang pemberian, pembatasan, maupun pencabutan hak atas ekspresi warga negara di dunia maya. Pengaturan dan pembatasan hak warga negara, kata dia, secara teori perundang-undangan hanya boleh diatur dalam regulasi sekelas UU maupun peraturan daerah (perda) yang diciptakan melalui kesepakatan antara eksekutif dan legislatif. ’’Kalau cuma permenkominfo, lihat dulu (Kementerian) Kominfo itu siapa. Kan sebatas eksekutif. Tugasnya adalah melaksanakan,” katanya kepada Jawa Pos kemarin (24/5).
Karakteristik permenkominfo, menurut Herlambang, sama dengan aturan turunan lain seperti peraturan pemerintah, perpres, dan peraturan menteri yang hanya mengatur implementasi. Sementara itu, pembatasan-pembatasan yang sifatnya lebih fundamental dengan memuat sanksi-sanksi yang lebih besar harus diatur dalam UU.
Herlambang mencontohkan kewenangan Kemenkominfo dalam Permenkominfo 5/20 yang menyebutkan bahwa pemerintah berhak mendapatkan akses dari PSE privat jika terjadi insiden atau pelanggaran hukum. Itu pun, kata Herlambang, tidak boleh dilakukan secara sembarangan. ”Tidak boleh kemudian semua data diangkut. HP-nya dirampas. Data-data pribadi seseorang tetap tidak boleh diakses sembarangan meskipun itu demi hukum. Apalagi Indonesia belum punya UU tentang perlindungan data pribadi,” tegasnya.