Sahabat D-dimer

  • Bagikan

Saya happy-happy saja.

Itulah happy hypoxia.

Berbagai upaya menurunkan D-dimer dilakukan dokter. Sejak di RS dulu. Gagal. Saya sendiri juga mengupayakannya. Dengan berbagai cara.

Waktu di RS, pertengahan Januari lalu, dokter memberi saya obat. Berupa tablet.

Tidak berhasil.

Lalu ganti suntikan. Di perut. Sehari dua kali. Dengan suntikan Heparin. Kulit perut saya sampai hitam-hitam memar.

Berhasil. Turun. Sedikit. Lalu, tidak bisa turun lagi.

Dihentikan.

Saya tidak bertanya mengapa suntikan di perut itu dihentikan. Padahal, baru lima hari.

Diganti pil lagi: Xarelto.

Tidak berhasil.

Lalu, Covid saya pun negatif. Saya boleh meninggalkan RS. Apalagi, selama di RS saya juga tidak merasakan keluhan apa-apa. Seperti tidak terkena Covid sama sekali.

Saya pun meninggalkan RS dengan D-dimer tetap tinggi.

Di rumah, saya mencoba bermacam-macam jamu. Dari empon-empon Jawa.

Gagal.

Lalu, jamu Kalimantan.

Gagal.

Seorang teman dari Bima mengalami D-dimer tinggi. Ia minum obat yang membuat D-dimer-nya turun. Saya pun minum obat itu.

Tidak berhasil.

Ternyata teman tadi terlalu cepat memberi info ke saya. Dua hari pertama D-dimer-nya memang turun. Tapi, setelah itu ternyata naik lagi.

Tapi, obat teman itu terus saya minum. Saya sudah bertanya ke dokter: apa kandungan obat tersebut. Saya juga bertanya ke apoteker. Jawabannyi sama: kandungannya persis seperti Plavix.

Ya sudah. Saya minum saja terus. Sampai satu dus itu habis. Daripada minum Plavix. Harga obat itu hanya seperempat harga Plavix. Jauh lebih hemat. Nanti saja, setelah obat murah tersebut habis, saya kembali ke Plavix. Atau terus.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan