Sahabat D-dimer

  • Bagikan

Sampai hari ini. Tiap sepuluh hari saya ke lab. Tetap saja D-dimer saya sekitar 1.800 itu.

Banyak dokter yang bertanya balik: berapa D-dimer saya sebelum kena Covid. Jangan-jangan sudah tinggi.

Saya tidak bisa menjawab itu. Seumur hidup baru sekali D-dimer diperiksa ya di RS Premier Surabaya itu. Saat kena Covid itu.

Sebelumnya, jangankan periksa, istilah D-dimer pun belum pernah mendengar.

Saya pun menghubungi dokter Ben Chua di Singapura: apakah pernah memeriksa D-dimer saya. Yakni, saat ia menangani aorta dissection saya tiga tahun lalu.

”Hi Pak Dahlan… we did not check D-dimer previously as you did not have dvt or was suspected to have dvt,” jawabnya.

Jelaslah, saya tidak pernah diperiksa tingkat D-dimer karena tidak ada indikasinya.

Satu-satunya yang membuat saya tetap happy adalah dokter ahli jantung dan pembuluh darah RS Premier Surabaya: dr Jeffrey Daniel Adipranoto. Yang lulusan Belanda itu.

“Saya yakin itu akibat stent. Tenang saja. Tidak usah terganggu dengan D-dimer tinggi,” ujarnya.

Sejak menangani D-dimer saya, dokter Jeffrey memang terus memikirkan D-dimer saya. Termasuk –dengan pikiran terbuka– minta saya tetap kontak dengan dokter saya di Singapura: dr Benjamin Chua.

Saya selalu ceritakan apa pendapat dokter Ben Chua kepada dokter Jeffrey. Demikian juga sebaliknya.

“Akhirnya saya teliti pasien-pasien saya. Di antara yang pasang stent, ada empat orang yang D-dimer-nya tinggi. Tidak apa-apa,” ujar dokter Jeffrey.

Mereka itu umumnya sakit jantung. Yang harus dipasangi ring (stent) di pembuluh darah di jantung mereka.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan