Irak Memanas Menjelang Pemilihan Parlemen

  • Bagikan

FAJAR.CO.ID -- Menjelang Pemilihan Parlemen yang akan berlangsung pada bulan Oktober mendatang, situasi kemanan di Irak kembali bergejolak. Penculikan dan pembunuhan terhadap aktivis di Provinsi Karbala dan Najaf, berikut ancaman bom mobil dan motor yang diarahkan kepada tokoh-tokoh partai politik sejak sebulan terkahir memicu terjadinya demontrasi di beberapa wilayah. Pendemo menuntut pemerintah segera mengusut tuntas pelaku pembunuhan, peculikan dan pengeboman tersebut. 

Pada tanggal 23 Mei 2021 Imad Al-Aqili, seorang aktifis di Provinsi Nasiriyah selamat dari upaya pembunuhan setelah sebuah bom dipasang di mobilnya. Bom tersebut akhirnya diledakkan dari jarak jauh tepatnya di sekitar Kawasan Masjid Agung Faleh Pasha, sementara kondisi Imad Al-Aqili dilaporankan stabil. Peristiwa ini terjadi 2 minggu sejak terjadinya pembunuhan terhadap aktivis Ihab Al-Wazni di Karbala.

Sebagai respon dari tuntutan para pendemo, maka pasukan keamanan Irak pada tanggal 26 Mei 2021 menangkap komandan senior milisi Qasim Muslih terkait masalah terorisme. Muslih ditangkap di Baghdad karena ditengarai terlibat dalam beberapa serangan termasuk serangan baru-baru ini di pangkalan udara Ain al-Asad, yang menampung AS dan pasukan internasional lainnya. Muslih juga dicurigai menjadi dalang dari beberapa aksi penculikan dan pembunuhan aktivis, serta beberapa serangan terhadap tokoh-tokoh partai politik. Dalam seminggu terakhir, terdapat 48 peristiwa pembunuhan dan lebih dari 20 pengunjuk rasa belum diketahui nasibnya.

Muslih adalah kepala Pasukan Mobilisasi Populer (PMF) provinsi Anbar, yaitu sekelompok milisi Syiah yang didukung oleh Iran, yang dianggap oleh Amerika Serikat sebagai ancaman terbesar bagi keamanan di Timur Tengah.

Namun tindakan pemerintah Irak yang menangkap Qasim Muslih justru mengakibatkan reaksi responsif yang sangat cepat dari kalangan milisi Irak. Barisan milisi serta merta memberikan ancaman kuat terhadap Pemerintah Irak, sehingga sehari kemudian Qasim Muslih pun dilepas kembali.

Rentetan penculikan dan pembunuhan tersebut memunculkan ketakutan tersendiri para para kandidat yang akan ikut serta di dalam Pemilihan Parlemen. Klimaksnya, saat ini muncul trend tuntutan untuk menunda bahkan sampai kepada pemboikotan Pemilihan Parlemen. Para kandidat lebih memilih keselamatan diri sendiri dari pada harus diculik ataupun dibunuh oleh orang tak dikenal.

Blackshart, Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Irak memperingatkan bahwa keengganan untuk berpartisipasi dalam Pemilihan Parlemen pada bulan Oktober atau bahkan memboikotnya akan berdampak negatif dan tidak akan menyelesaikan masalah negara, melainkan justru akan memperburuknya. Dia juga menegaskan bahwa penundaan Pemilihan Parlemen tidak akan menciptakan keadilan bagi rakyat Irak, malah akan membuat rakyat Irak kehilangan hak-haknya.

Perwakilan Sekjen PBB di Irak, Jenin Plasschaert, juga mengeluarkan peringatan bahwa kehadiran kelompok bersenjata yang terus-menerus di luar kerangka resmi akan menyeret Irak ke jurang dan melemahkan wibawa negara. Pembunuhan, penculikan dengan target aparat keamanan maupun pangkalan pangkalan militer, atau praktik apa pun di luar kerangka negara, mak Irak akan menghadapi masa depan yang tidak bisa diprediksi.

Irak sejauh ini masih menjadi “medan pertempuran” terhadap dua kekuatan, yaitu Iran yang didukung oleh China, dan Amerika Serikat. Sejak terbunuhnya Qasim Slemani, pemimpin revolusioner Irak pada awal Januari 2021 akibat serangan Drone AS di dekat Bandara Baghdad, hubungan Iran dan Amerika memburuk, namun sayangnya Irak yang tidak memiliki andil di dalam perseteruan kedua negara itu justru terkena imbas, baik dari segi politik, ekonomi maupun keamanan. (*)

Laporan:
Amirullah Kandu,
Direktur Kajian Timur Tengah di Baghdad, Irak

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan