Membangun kekuatan sistem pertahanan menjadi salah satu respons negara atas ancaman yang akan terjadi. Pelaksanaannya melalui modernisasi alutsista, yang termasuk proses jangka panjang.
“Apa yang jadi prioritas, apa yang kiranya harus dilakukan investasi dalam modernisasi sistem pertahanan? Apakah industri dalam negeri, apakah impor, atau apakah dalam impor lalu kita melakukan alih teknologi? Alih teknologi ini soal bagaimana kita bekerja sama dengan industri pertahanan nasional. Itu proses yang panjang. jadi, tidak bisa karena ada Covid-19, ada persoalan seperti ini, lantas kita setop. Nanti untuk memulainya lagi berat. Memang sekarang dalam kondisi yang berat, tapi harus tetap dilalui,” tuturnya.
Mengenai skala prioritas, sambung Rizal, berdasarkan ancaman aktual dan tidak aktual yang dihadapi. Baginya, potensi meluasnya eskalasi konflik di Laut China Selatan (LCS) antara Amerika Serikat (AS) dan sekutunya dengan Tiongkok merupakan salah satu ancaman aktual bagi Indonesia meskipun hanya Zona Ekonomi Eksekutif (ZEE) yang diklaim Negeri Tirai Bambu.
“Namun, kita juga harus siap seandainya terjadi perluasan dari konflik, mau tidak mau kita pasti akan terseret,” tegasnya. “Apakah kita mau terseret (langsung) dalam konflik atau apakah kita mau tetap netral bila terjadi konflik bersenjata, kita harus tetap memiliki kekuatan bersenjata,” imbuhnya.
Karena itu, Rizal mendukung langkah pemerintah melalui Kementerian Pertahanan (Kemenhan) menyusun rancangan strategis percepatan peremajaan alutsista. Pangkalnya, menjadi terobosan yang tidak pernah bisa dilakukan serta akan ada kepastian investasi pertahanan selama 25 tahun.