Mancaji Tau Tongeng bagi Makkunrai

  • Bagikan

Oleh: Desy Selviana
(Pustakwan)

Mencapai tingkatan "tau tongeng" dimulai dari pendidikan keluarga. Biasanya di kalangan orang Bugis anak pada usia lima-tujuh tahun anak-anak sudah dibimbing dan diarahkan untuk mengenal norma-norma yang paling dasar dahulu, yakni membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang pantas dan mana yang tidak pantas dilakukan.

Periode ini biasanya berlangsung satu sampai dua tahun dan tidak sama bagi semua anak, karena tiap individu mempunyai kemampuan membedakan satu dengan yang lain.
Setelah anak mencapai usia tujuh sampai sembilan tahun, mulailah anak laki-laki dan anak perempuan dipisahkan, serta diarahkan untuk memasuki proses pembentukan menurut jenis kelaminnya, yang laki-laki akan diarahkan menjadi "worowane", sedang perempuan diarahkan untuk menjadi "makkunrai". Periode ini berlangsung sampai dua-tiga tahun lebih.

Jalur pembentukan informal dan non formal dengan mengarahkan anak mendengar dan atau mengalami sendiri dengan mengikutsertakan dalam kegiatan yang dilakukan secara aktif. Mula-mula sekadar mengenal dari dekat alat-alat dan tempat yang perlu, kemudian secara bertahap ikut serta berperan sebagai pembantu, akhirnya secara mandiri melaksanakan suatu kegiatan dengan pengawasan oleh seorang tua yang sudah profesional, yang terkenal dengan sebutan: ANRE GURU, SANRO KINO, JENNANG dsb.

Selama masa pembentukan ini yang biasanya berlangsung antara dua sampai tiga tahun, masing-masing kelamin diperkenalkan bentuk kehidupan kelaki-lakian yang disebut "AWO ROWANENGENG". Sementara anak perempuan diperkenalkan dalam suasana kehidupan keperempuanan yang disebut "AMAK KUNRAINGENG".

Dengan dasar pengenalan dan pengalaman inilah kelak anak-anak itu secara perlahan dan berangsur mengenal akan dirinya sebagai laki-laki (WOROWANE) dan mengenal diri sebagai perempuan (MAKKUNRAI), inilah yang disebut "NAISSENNI ALENA" (mengenal dan menemukan diri).

Setelah anak itu mengalami periode pembentukan ini mereka telah mencapai usia delapan sampai sepuluh tahun. Pada usia delapan sampai sepuluh tahun, usia ini anak ank itu disunat (dikhitankan) setelah memeluk agama Islam. Usia untuk disunat itu bermacam-macam, ada disunat pada usia sepuluh atau sebelas tahun atau lebih bagi anak laki-laki, namun bagi anak perempuan malah ada yang lebih awal yaitu pada usia delapan tahun.

Setelah anak perempuan yang telah mencapai priode haid ini, semakin menyadari pula akan harga dirinya sebagai seorang "makkunrai" (perempuan). Ia selalu dibimbing oleh ibunya atau "kino" yang ada di dekatnya agar dalam segala penampilannya senantiasa menunjukkan sifat keputrian yang menghiasi hidupnya.

Memang dapat diakui, tidak semua anak perempuan sampai pada tahap "NAISSENNI ALENA". Hal ini banyak-banyak tergantung pada keadaan keluarga atau lingkungan orang tua si anak, karena kesemuanya ini sangat memengaruhi pertumbuhan anak. Bagi anak perempuan yang suka bertingkah atau berbuat aneh-aneh untuk menarik perhatian orang tuanya demikian pula orang sekitarnya. Ia akan menunjukkan, bahwa ia juga mampu berbuat serupa yang pernah diperbuat ibunya atau orang lain.

Pada saat serupa ini anak perempuan itu sesuai adat orang Bugis sudah tiba saatnya untuk dibimbing dan diarahkan mengenal dapur, yang dalam bahasa Bugis dikenal "MISSENG DAPURENG", yang dimaksudnya mengenal akan fungsi dapur dalam keluarga, mengetahui sebab utama dan pokok yang dapat menyebabkan dapur itu mengepulkan asap setiap hari.
Setelah anak perempuan itu "misseng dapureng", maka ia diarahkan lagi untuk "MATUTUI LISEK PABBARESSENG", yang maksudnya: membimbing anak perempuan itu agar membiasakan diri menjaga dan menghemat perbekalan berupa beras yang tersimpan dalam tempayan (pemberasan= pabbaresseng) tidak terhambur dan tidak lekas habis sebelum waktunya.

Bagi pandangan hidup orang Bugis "pabbaresseng" pantang kosong sama sekali, yang terbiasa membiarkan pemberasannya kosong sama sekali (walaupun hanya segenggam), pertanda ia atau perempuan semacam itu tidak dapat menjadi seorang pendamping suami, ia tidak akan sampai mencapai tingkat "IMATTARO" (si penyimpan). Sedangkan kita telah mengetahui, bahwa seorang laki-laki yang telah menjadi seorang suami dan telah mampu berfungsi sebagai "LA MASSAPPA" perlu didampingi seorang istri yang berfungsi sebagai "IMATTARO".

Itulah sebabnya tata krama dalam kehidupan berumah tangga bagi orang Bugis, suaminya itu dijuluki "PASSAPPA'NA" (pencarinya atau pengusahanya) dan istrinya itu dijuluki "PATTARONA" (penyimpannya).
Jadi seorang suami yang tak mampu berfungsi sebagai "LAMASSAPPA", ia dipandang sebagai "worowane cinna mate" (laki-laki yang rapuh, mudah putus asa dan sulit berperan aktif sebagai si pencari). Sedangkan seseorang istri yang tak mampu berfungsi sebagai "IMATTARO", ia dipandang sebagai "baka sebbo" (keranjang bobol, maksudnya sulit berperan sebagai penyimpan yang hemat).

Dengan demikian, secara tegas orang tua-tua Bugis sejak dari dahulu senantiasa berpesan kepada anak cucunya agar jangan ada yang bersifat "worowane cinna mate" dan jangan ada makkunrai bersifat "baka sebbo", karena kedua jenis sifat itu sungguh tidak dapat mendatangkan kebahagian dalam hidup berkeluarga. (*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan