FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pakar tata ruang Universitas Gadjah Mada menyebut prediksi Jakarta bakal tenggelam pada 2050 bukan hal yang mustahil. Hal tersebut juga sebagai peringatan berbagai pihak untuk membenahi aspek tata ruang.
”Saya kira ini bukan sesuatu yang mustahil, tapi keniscayaan yang akan terjadi kalau Jakarta tidak secara cermat melakukan pengelolaan pembangunan. Ini suatu peringatan yang kita perlu perhatikan,” kata Pakar tata ruang Universitas Gadjah Mada Bambang Hari Wibisono seperti diansir dari Antara di Jogjakarta, Senin (7/6).
Sejumlah pakar dan lembaga riset dalam beberapa tahun terakhir memberikan prediksi bahwa Jakarta akan tenggelam dalam beberapa puluh tahun mendatang. Laporan terbaru yang dirilis Fitch Solutions Country Risk & Industry Research, misalnya, menyebut pada 2050 sebagai tahun di mana Jakarta akan tenggelam. Hal itu sebagai akibat dari sejumlah persoalan yang dihadapi saat ini.
Menurut Bambang, prediksi-prediksi semacam itu menjadi peringatan penting akan ancaman yang dihadapi Jakarta pada masa mendatang. Sehingga dituntut upaya serius untuk dilakukan saat ini.
Isu penurunan permukaan tanah telah menjadi perhatian dari para ahli sejak 10 hingga 15 tahun lalu. Banyak pula yang memberikan peringatan serta pendapat tentang apa yang seharusnya dilakukan di Jakarta.
Salah satu hal yang menurut Bambang Hari Wibisono, penting dilakukan adalah menggunakan instrumen penataan ruang secara ketat. ”Tata ruang harusnya sudah mengatur mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, mana yang merupakan kawasan budi daya yang bisa dikembangkan dan mana kawasan yang memiliki fungsi lindung,” papar Bambang Hari Wibisono.
Pembangunan fisik di Jakarta, lanjut Bambang, masih hanya mempertimbangkan soal kapasitas atau daya tampung. Belum secara serius memikirkan tentang daya dukung. Di samping kapasitas lahan untuk menampung penduduk dalam jumlah tertentu, hal lain yang perlu menjadi pertimbangan adalah kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi bagi setiap penduduk untuk memiliki kualitas hidup yang baik.
”Setiap orang membutuhkan air bersih, listrik, dan input lain. Dari segi output, mereka akan menghasilkan limbah yang harus diolah. Penting untuk diperhatikan apakah Jakarta memiliki kemampuan dalam hal input dan output ini,” terang Bambang.
Jumlah penduduk Jakarta telah mencapai lebih dari 10 juta sedangkan luas wilayah hanya 661 kilometer persegi. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi kebutuhan ruang serta sarana dan prasarana untuk mendukung kehidupan masyarakat. Padahal, pembangunan fisik memberi beban bagi lahan.
”Dengan dibangun secara fisik itu akan menjadi beban bagi tanah, di pihak lain juga kebutuhan air bersih yang diperlukan masyarakat disedot terus dari bawah permukaan tanah. Lahan manapun pasti akan mengalami suatu penurunan,” ujar Bambang Hari Wibisono.
Fenomena-fenomena itu, menurut dia, memicu kekhawatiran para ahli terhadap ancaman tergenangnya Jakarta. Idealnya jumlah penduduk di suatu wilayah dibatasi menurut daya dukung dari wilayah tersebut. Namun, dalam kasus Jakarta hal itu mustahil dilakukan karena daya tarik kota masih sangat besar sebagai pusat dari beragam aktivitas.
Meski demikian, menurut Bambang, belum terlambat untuk melakukan intervensi dan langkah nyata untuk mengatasi persoalan itu, demi menghentikan ancaman tenggelamnya Jakarta. ”Semakin lambat mengambil langkah effort-nya pasti akan makin berat, tetapi tidak ada kata terlambat untuk melakukan sesuatu,” tutur Bambang. (ant/jpg/fajar)