FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Peran dua ajudan Nurdin Abdullah (NA), Syamsul Bahri dan Salman Natsir dalam memuluskan suap proyek infrastruktur di Sulsel sudah terang benderang. Keduanya bagian dari skenario gratifikasi di lingkup Pemprov Sulsel.
Perbuatan berulang-ulang yang dilakukan sang ajudan dinilai sebagai fakta hukum yang seharusnya menjadi pijakan KPK menyeret oknum Korps Bhayangkara ini. Uang suap yang mengalir lewat tangannya adalah bukti kongkret, keduanya adalah pihak yang turut melakukan perbuatan pidana.
Pakar Hukum Pidana UIN Alauddin Makassar, Rahman Syamsuddin menegaskan, sangatlah aneh jika penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan peran dua ajudan ini dalam pusaran dugaan gratifikasi NA. Padahal, dalam KUHP, membiarkan terjadinya perbuatan pidana saja adalah tindak pidana.
Sementara dalam kasus ini, Rahman menyebut, ajudan NA secara terang di muka sidang menyampaikan perannya. Dengan demikian, seyogyanya KPK sudah punya penguatan terpenuhinya unsur perbuatan pidana. Setidaktidaknya, kedua ajudan NA ini adalah pihak yang dengan tindakannya menguntungkan orang lain.
Lagi pula, kata Rah-man,diatidakyakinkeduanya tidak menikmati hasil tindak pidana tersebut. Meskipun inimemangmasihperlu dibuktikan. Namun, apapun alasannya, kedua ajudan NA sudah terlibat dalam lingkaran kasus suap ini.
"Kenapa baru mau menyampaikan saat NA ditangkap. Mengapa, tidak dari awal saat mengetahui ada praktik suap, melaporkan kasus ini. Mengapa dia mau berulang-ulang melakukan perbuatan yang masuk dalam unsur tindak pidana korupsi? Ini yang harus dilihat penyidik KPK," jelas Rahman, Senin, 7 Juni.