FAJAR.CO.ID, GOWA - Wacana penerapan pajak sembako menuai banyak kritikan. Hal itu dianggap beban bagi rakyat kecil yang justru dinilai menjadi korban dalam aturan ini.
Memang, wacana itu munculnya dari pusat. Penerapannya tentu akan berlaku di seluruh pelosok tanah air. Namun untuk saat ini, pemerintah di daerah masih menunggu arahan terkait hal itu.
"Saya masih menunggu surat edaran dari perpajakan. Termasuk dari Kementrian Perdagangan," kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Gowa, Andi Sura, Kamis (10/6/2021).
Jika pungutan pajak itu benar-benar berlaku, sembako yang nantinya akan terkena Pajak Pertambahan Nilai (PPN), adalah sembako yang paling sering ditemui di dapur rumah kita.
"Kalau memang bakal diterapkan., kemungkinan beras, minyak, telur, dan lain sebagainya akan kena PPN. Tapi ini sifatnya masih draf. Draf itu dibuat untuk melihat respon masyarakat atas rencana pemerintah menerapkan PPN sembako," tambahnya kepada wartawan.
Pihaknya juga saat ini belum bisa berbuat apa-apa terkait pengenaan PPN terhadap bahan sembako. Baik sosialisasi, atau sebagainya.
Memang, wacana pengenaan PPN bagi bahan pokok atau sembako ini, tertuang dalam revisi UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) .
Pengenaan pajak diatur dalam Pasal 4A draf revisi UU Nomor 6 yang didapat. PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa, yang dilakukan oleh badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Dalam draft baru itu, pemerintah di bawah kendali Presiden Joko Widodo berencana memasukkan sembako masuk barang yang terkena PPN.
Dalam draf beleid tersebut, barang kebutuhan pokok serta barang hasil pertambangan atau pengeboran, dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN.
Pengamat Ekonomi Universitas Muhammadiyah Makassar, Abdul Muttalib Hamid, menyebut, jika sembako dihilangkan dari kelompok jenis barang yang tidak dikenakan PPN jelas merugikan, karena barang kebutuhan pokok sangat dibutuhkan masyarakat banyak.
“Kalau jadi objek pajak harganya akan jadi tinggi, itu artinya akan berpengaruh terhadap menurunnya daya beli masyarakat,” jelas Abdul Muttalib kepada fajar.co.id. (ishak/fajar)