FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Pemerintah Indonesia kembali menarik utang sebesar US$ 500 juta dari Bank Dunia (World Bank). Dengan kurs rupiah sebesar Rp 14.352 per dollar AS, utang itu setara Rp 7,1 triliun.
Pembiayaan ini guna membantu Indonesia dalam penanganan pandemi covid-19, termasuk penguatan sistem kesehatan dan program vaksinasi gratis dari pemerintah.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan pinjaman dari Bank Dunia juga akan digunakan untuk menambah pembiayaan isolasi pasien Covid-19, meningkatkan ketersediaan tempat rawat, pengujian, hingga komunikasi publik dan pengawasan.
"Selain mendukung program vaksinasi gratis pemerintah untuk menjangkau seluruh penduduk dewasa Indonesia, pembiayaan ini akan membantu sistem kesehatan Indonesia menjadi lebih tangguh dan memperkuat surveilans kami melalui pengujian dan penelusuran kasus baru covid-19, termasuk surveilans genomik untuk varian baru," tutur Budi Gunadi dalam keterangan resminya.
Pengamat Ekonomi UIN Alauddin Makassar, Aulia Rahman Bato menyampaikan situasi ini sedikit mengkhawatirkan di tengah merosotnya sumber penerimaan negara untuk membiayai pembangunan.
Ia menjelaskan, sumber pembiayaan yang selama ini mengandalkan sektor pajak banyak mengalami koreksi selama masa pandemi. Bahkan, realisasi penerimaan pajak pada tahun 2020 mengalamai kontraksi sampai 19,7 persen dibandingkan tahun 2019 yang terealisasi sebanyak 1.332,7 triliun.
"Kondisi ini tentu menyebabkan defisit APBN kita makin melebar," kata Aulia Rahman, Selasa (22/6/2021).
Disisi lain, lanjut Dosen Ekonomi UIN Alauddin Makassar ini, penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN) tetap menjadi prioritas utama pemerintah saat ini, sehingga utang menjadi salah satu solusi jangka pendek bagi pemerintah untuk memperoleh sumber pembiayaan.
"Secara teori, ukuran sehat tidaknya keuangan suatu negara diukur dari rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB). Saat ini rasio utang pemerintah terhadap PDB adalah sekitar 41,18 persen. Sementara amanah undang-undang kita bahkan membolehkan rasio utang terhadap PDB sebesar 60 persen. Tetapi, pada prinsipnya sebuah negara berani melakukan pinjaman karena ada ekspektasi atau kepercayaan bahwa kita akan memperoleh pendapatan yg lebih besar di masa akan datang," paparnya.
Selain itu, negara atau lembaga pemberi pinjaman tentunya punya kepercayaan lebih kalau utang tersebut mampu dilunasi. Artinya si pemberi pinjaman memiliki trust terhadap kondisi ekonomi nasional yang bisa pulih dalam waktu cepat.
Ia menilai, saat ini pemerintah cukup meyakini bahwa ketika penerimaan pajak kembali optimal dan ekonomi mulai tumbuh, rasio utang akan mampu diatasi.
"Hal ini tentu harus dibarengi dengan berbagai langkah persiapan seperti perbaikan administrasi perpajakan, regulasi, dan sistem pengawasan. Apalagi saat ini peluang penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang tidak kalah potensial dibanding pajak," tandasnya.
Penambahan utang, ditegaskan Aulia, menjadi kewaspadaan bagi pemerintah untuk lebih mengoptimalkan PNBP.
"Kita berharap penggunaan utang ini tepat sasaran dan menjadi solusi jangka pendek dalam mengatasi kondisi ekonomi nasional di tengah pandemi," harapnya menegaskan. (endra/fajar)