FAJAR.CO.ID, JAKARTA – DPR RI mewacanakan amandemen UUD 1945. Salah satunya, presiden akan dipilih oleh MPR. Bukan pemilihan yang langsung dipilih oleh rakyat.
Alasannya, dalam praktik demokrasi saat ini, cita-cita reformasi masih jadi tanda tanya besar. Bahkan, biaya politik yang besar hingga adanya polarisasi.
Lewat keterangan resminya, dikutip Jumat (25/6), Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamudin mengatakan, gagasan besar dalam wacana amandemen kelima UUD 1945, harus dijadikan pintu masuk koreksi dan evaluasi terhadap tujuan agenda reformasi yang telah berjalan kurun waktu 23 tahun.
Hanya saja Lanjut Sultan, kemudian timbul pertanyaan mendasar bahwa apakah cita-cita reformasi tersebut telah tercapai melalui skema demokrasi yang kita jalankan pada saat ini.
Pada awalnya, dengan hadirnya mekanisme pemilihan presiden secara langsung dapat diharapkan mendorong demokrasi di Indonesia menuju fitrahnya, bahwa kekuasaan berada ditangan rakyat.
Hanya saja lanjut Sultan, berkaca pada pengalaman pemilihan kepemimpinan nasional kebelakang secara langsung ternyata tidak serta merta mewujudkan harapan dari demokrasi tersebut.
“Dalam kurang lebih dua puluh tahun terakhir, ritual demokrasi kita telah dilakukan secara berkala. Dan pemilihan langsung baik di eksekutif maupun legislatif telah menelan biaya yang sangat besar dalam memastikan serta menyalurkan legitimasi rakyat dan justru hal tersebut tidak sebanding dengan hasil pembangunan yang diharapkan,”bebernya, Kamis (24/6).
Ratusan triliun yang digunakan dalam membiayai proses demokrasi dinilai sangat mahal. Padahal, seandainya jika sistem pemilihan dapat dikembalikan kepada MPR tentu akan lebih membuat efisiensi keuangan negara. Sebab, ongkos pemilu tersebut dapat digunakan sebagai modal pemerataan pembangunan di daerah.