DALAM buku Jim McGuigan, “Cultural Populism”,dijelaskan sebuah keadaan budaya yang tengah mewabah saat ini. Keadaan yang kemudian dikenal dengan istilah budaya populer. McGuigan, mengartikan populisme “budaya (‘b’ kecil)” sebagai pengalaman dan praktik simbolik orang-orang biasa yang lebih penting dari “Budaya (‘B’ besar)”.
Oleh: S. Purwanda
Raymond Williams menyingkap empat unsur istilah “populer”. Pertama, banyak disukai orang. Kedua, merupakanjenis kerja rendahan. Ketiga, karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang. Dan, budaya yang memang diperuntukkan untuk dirinya sendiri. Keempat unsur istilah populer ini dapat ditemukandalam buku kumpulan esai pertama Ilham Mustamin, “Siasat Menikmati Kesemenjanaan”.
Dalam buku “Siasat Menikmati Kesemenjanaan”, Ilham banyak menggugat kondisi pemerintahan dan masyarakat Kota Parepare yang dijangkiti wabah budaya populer yang begitu lekat dengan kuantitas dan mengabaikan kualitas. Hal sama dengan yang dikeluhkan oleh Mario Vargas Llosa dalam esainya “Peradaban Tontonan”, di mana hasil dari kebudayaan bentuk tertentu yang dangkal muatannya dijustifikasi dengan alasan kemasyarakatan demi mencapai penikmat terbanyak.Namun, gugatan Ilham dalam bukunya, tak lepas dari bentuk kecintaannya terhadap kota kelahirannya─hal mana dapat dibuktikan dari dua pilihan kutipantentang ‘kota’ dari Orhan Pamuk dan Mario Cuomo pada bagian awal buku.
Gugatan pertama yang bertalian dengan unsur pertamadapat ditemukan dalam esai “Distansi Buku dan Parepare”. Ilham menggugat masyarakat Parepare yang “membebek” kepada hal-hal sensasional. Baginya, masyarakat Parepare tidak mampu (unable) atau tidak mau (unwilling) memikirkan gagasan baru; mereka miskin ide. Asal disukai banyak orang, itusi lagi laku!
Untuk membuktikan pernyataannya, Ilham mengumpulkan berbagaifakta sosial yang telah lama ia amati di Parepare, seperti faktaice bubble, warkop, dan batu akik yang sempat populer lalu tiba-tiba meredup.
Gugatan kedua bertalian dengan unsur kedua ada pada esai “Wali Kota, Matilah!” cukup membuat telinga merah bagi yang sedang atau pernah menduduki jabatan strategis di pemerintahan.Padaesai ini, saya mengajak Anda menebak sebuah pertanyaan penting: pekerjaan apakah yang temasuk jenis kerja rendahan yang diingini oleh banyak orang? Coba pikir baik-baik jawabannya setelah membaca esai ini. Ilham memberi kita kisi-kisi jawaban atas pertanyaan penting tersebut: baliho, stiker, dan kaos. Bagi Ilham, kita ingin dengar gagasan, bukan menampung sampah.
Ilhamyang selayaknya seorang puritan, memberi pesan kepada calon pekerja rendahan dengan kata kunci utama: mati. Pesan Ilham, “sebab, seorang wali kota yang baik harus belajar mati sebelum ia menjabat. Dan mati tepat saat namanya terpilih sebagai pemegang amanah masyarakat.”
Gugatan ketiga yang bertalian dengan unsur ketiga dapat ditemukan dalam esai “Catatan Pendek tentang Film Pendek Makka”. Sebagian esai ini menceritakan kisah film pendek yang diberi judul “Makka: Sengereng Na I Sukkang Dg. Tommi” yang berlatar peristiwa kekejaman Westerling dan pasukannya di Parepare. Separuhnya lagiberupa ulasan seputar bagaimana film pendek ini kemudian tayang di Gedung Pemuda Kota Parepare yang mampu menampung 1.500 orang.
Daya tampung 1.500 orang membuat gedung ini layak dipakai pada masa pandemi, agar memudahkanphysical distancing dengan pertimbangan1/3jumlah kepala yang akan mengisi ruangan. Imbauan pemerintah setempat:penonton mesti dibatasi! Panitia akhirnya menyediakan tiket untuk 500 orang pengunjung saja. Tiket terjual habis.Jumlah yang sangat besar untuk sebuah pertunjukan di Parepare.
Hanya saja, menyenangkan 500 orang pengunjung dengan suguhan film pendek yang digagas secara iseng dan dikerjakan dalam waktu singkatadalah tindakan yang nekat─cuma untuk tidak menyebutnya ceroboh. Pengerjaan dengan waktu singkat dan persiapan yang kurang matang tentu dapat melahirkan detail-detail kecil yang bisa saja merusak atau mengurangi kualitas film. Kuantitas mengerdilkan kualitas.
Film pendek ini mendapat koreksi dari Ilham, termasuk kekeliruan produser yang menyebut ini sebagai film dokumenter.Dari esai ini kita bisa belajar, bahwa sesuatu yang digagas secara iseng, dikerjakan dalam waktu singkat, hasilnya akan kurang memuaskan dan cenderung melahirkan penilaian subjektif.
Gugatan terakhir yang bertalian dengan unsur terakhir ada pada esai “Ahmad dan Skeptisismenya”. Ilham menggugat tulisan Ahmad Kohawan yang terbit di Parepos pada tahun 2017. Yang cukup menarik dari esai ini adalah soal pembangunan Institut Teknologi Habibie (ITH). Hal tersebut sempat disinggung oleh Ahmad melalui tulisannya di Pareposkemudian ditanggapi oleh Ilham dengan tulisan pula. Bagi Ahmad,isu pembangunan ITH yang digulirkan oleh pemerintah daerah Parepare tidak pernah menyentuh atau melibatkan langsung masyarakat sebagai mimpi bersama. Ahmad bahkan menduga ITH merupakan “program ujug-ujug, proyek main mata uang rakyat atas nama besar seorang Eyang (B.J. Habibie-pen.).”
Ilham bersikap mendua dalam esai ini, satu sisi menuduh Ahmad berprasangka negatif kepada pemerintah daerah Parepare, dan pada satu sisi ia mendukung nalar kritis dari Ahmad. Pada dasarnya, kritik Ahmad terhadap pemerintah daerah wajar-wajar saja, sebab dari berapa tahun lalu wacana ITH sudah digulirkan dan belum ada kejelasan hingga kini. Bahkan, menurut Ilhamsebuah media daring menyebutkan ITH bersiap menerima mahasiswa pada Februari 2016.
Ilham dan Ahmad,tidak melihat itu sebagai kepentingan elit yang berkuasa di Parepare yangtujuannya memang diperuntukkan untuk dirinya (kelompoknya) sendiri. Antonio Gramsci kemudian menyebut ini sebagai hegemoni yang berupaya mempertahankan kepemimpinan, bahkan untuk kepentingan yang lebih besar lagi.
Setelah membaca buku dari Ilham, saya berkesimpulan, asumsi terkait judul dan keseluruhan isi dari beberapa esai dalam buku ini, apabila dianalisa sesuai masing-masing unsur populer dari Williams, maka buku ini sebenar-benarnya “menimpali kesemenjanaan”, alih-alih “menikmati kesemenjanaan”.
Menikmati kesemenjanaan adalah keadaan berterima (in) dengan penuh kecurigaan dan prasangka melalui kesadaran dan tanggung jawab yang mutlak. Sedangkan menimpali kesemenjanaan, berartimenggugatkeadaan dengan berbagai cara hingga kebenaran itu sampai (out) tanpa keragu-raguan. Dan Ilham, dalam tulisan ini, tidak dalam tahap menikmati kesemenjanaan, tetapi berupaya menimpali kesemenjanaan.
Ilham menjadi tokoh protagonis yang baik dalam buku ini, mengingatkan kita(masyarakat dan pemerintahan) pada cara kita memaknai kota Parepare, dengan cara menimpali kesemenjanaan yangkembali pada gagasan dan pengetahuan serta cara bertindak dan mengelola emosi dengan benar. Saya teringat pesan Mahatma Gandhi, jarang orang menjadi baik hanya demi kebaikan, mereka menjadi baik karena keadaan mengharuskan. Mungkin, keadaan telah mengilhamiIlham saat menulis esai-esainya ini.
Dua jam lebih sekian menit saya menuntaskan buku “Siasat Menikmati Kesemenjanaan”yang diterbitkan oleh penerbit Sampan Institute─sebuah penerbit lokal di Parepare.
Sebenarnya, beberapa esai dalam buku tersebut pernah sayabaca sebelumnya, hanya saja saya butuh membacanya kembali, mengingat-ingat apa yang berubah dan apa yang baru. Lagi pula kumpulan esai ini dieditori oleh Muliadi G.F. yang dengar-dengar dari Ilham, ada beberapa esai yang direvisi.Buku ini menarik. Sungguh. (*)
S. Purwanda, seorang penulis, peneliti, dan dosen di STIH AMSIR Parepare. Bukunya yang telah terbit antara lain:Mahasiswa dalam Pusaran Kekerasan (2015) dan Tanpa Hari, Tiada Buku (2017).Saat ini ia berdomisili di Parepare.