FAJAR.CO.ID,MAKASSAR -- Tersangka dugaan suap Nurdin Abdullah dan Edy Rahmat segera menjalani persidangan. Meski JPU Komisi Pemberantasan Korupsi sempat ragu terkait keamanan, persidangan diputuskan tetap digelar di Makassar.
Hanya saja, Nurdin Abdullah dan Edy Rahmat menjalani persidangan lewat virtual. Nurdin tetap ditahan di Rutan KPK cabang Pomdam Jaya Guntur, sedangkan Edy juga masih ditahan di Rutan KPK.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melimpahkan berkas perkara kasus dugaan suap proyek infrastruktur dengan tersangka Nurdin Abdullah dan Edy Rahmat ke Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Makassar, kemarin. JPU KPK membawa tiga bundel berkas yang diserahkan ke Pengadilan Tipikor.
JPU KPK, Muhammad Asri Irwan mengatakan, pelimpahan ke Pengadilan Tipikor Makassar berdasarkan rekomendasi, khususnya rekomendasi keamanan dari kepolisian dan pengadilan.
Asri mengungkapkan, sempat ragu persidangan digelar di Makassar dengan pertimbangan keamanan. Setelah mendapat rekomendasi, akhirnya yakin bisa digelar di Makassar.
Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan jika kondisi berubah di kemudian hari, maka sidang bisa saja dipindahkan ke Jakarta. "Kita berdoa saja, mudah-mudahan ke depannya benar-benar aman," sebut Asri.
Pada sidang nanti, Nurdin maupun Edy hanya mengikutinya secara virtual. Sebab, penahanannya tetap di Jakarta karena terkendala PPKM Darurat. Prosedur pemindahan penahanan diakui sangat sulit di tengah status PPKM Darurat.
Selain itu, kondisi tahanan di Makassar dinilai agak terbatas. "Kalaupun dipindahkan, tetap online seperti Agung Sucipto. Jadi sia-sia," katanya seraya menyebut Nurdin dan Edy bisa saja dihadirkan langsung jika pandemi berakhir.
Hanya saksi-saksi yang diundang tetap akan hadir langsung di persidangan.
Asri tak membeberkan jumlah saksi yang akan dihadirkan. "Yang pasti, lebih banyak dari saksi terdakwa Agung Sucipto," pungkasnya.
Penasihat Hukum terdakwa Nurdin Abdullah, Arman Hanis mengatakan, dengan pelimpahan berkas ke pengadilan, berarti perkaranya sudah siap disidangkan. Dia berharap bisa membuktikan apa yang diakui terdakwa itu benar atau salah.
Berdasasarkan penelusuran FAJAR, Arman Hanis adalah pengacara senior yang sudah malang melintang di dunia advokat. Dia memenangkan cukup banyak kasus yang ditangani.
Arman banyak menangani kasus besar. PT Coca Cola Distribution Indonesia dan PT Magnum Consolidators Indonesia juga pernah menggunakan jasanya.
Selain itu, pada kasus PT Ancol Indonesia, menjadi kuasa hukum pemohon pailit. Pria kelahiran Makassar pada 1973 lalu itu merupakan pendiri Hanis and Hanis Advocate pada 2004 lalu.
Ia juga pernah menjabat Dewan Kehormatan Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI). Saat ini menjabat ketua DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) JakartaPusat.
Arman Hanis juga alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Tahun 1998 lalu, Arman mendapat gelar advokatnya. Kemudian 10 tahun berselang, ia melanjutkan karirnya sebagai kurator. Ia juga pengurus yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM.
Majelis Hakim
Humas Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Sibali mengatakan, PN masih dalam proses penentuan majelis hakim. Termasuk menentukan paniteranya oleh kepala Pengadilan Negeri Makassar.
Setelah semua lengkap akan dimasukkan ke Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP). "Pedoman kami data SIPP. Satu atau dua hari ke depan akan keluar nama hakim dan paniterannya. Setelah itu penentuan lanjutannya adalah jadwal sidang," tambahnya.
Plt Juru Bicara KPK, Ipi Maryati Kuding mengatakan, pelimpahan berkas perkara Nurdin Abdullah dan Edy Rahmat ke Pengadilan Tipikor Makassar sesuai dengan tempat transaksi dugaan korupsi di Makassar.
Sesuai isi dakwaan, transaksi terkait dugaan korupsi terjadi sejak awal 2019 hingga 2021, baik Nurdin Abdullah sendiri, maupun bersama dengan Edy Rahmat. Lokasi dugaan transaksi ada di beberapa tempat, seperti di Rujab Gubernur Sulel, rumah pribadi Nurdin di Perumahan Dosen Unhas, Rumah Agung Sucipto di Makassar dan Bulukumba.
Kemudian di Kantor Biro Pengadaan Barang dan Jasa Pemprov Sulsel, di kafe lobi Hotel Mercure Makassar Nexa Pettarani, lobi hotel Myko dan Convention Center, di kafe Pancious, di kafe Fireflies, di RM Nelayan dan di rumah dinas Edy Rahmat.
Nurdin didakwa menerima gratifikasi atau janji secara langsung uang tunai sebesar 150 ribu dolar Singapura. Kemudian melalui Edy, menerima uang sekitar Rp2,5 miliar dari Agung Sucipto selaku pemilik PT Agung Perdana Bulukumba dan PT Cahaya Seppang Bulukumba.
Gratifikasi yang diberikan diduga agar Nurdin memenangkan perusahaan Agung Sucipto dalam pelelangan proyek pekerjaan di Dinas PUTR Sulsel. Juga untuk memberikan persetujuan bantuan keuangan provinsi untuk proyek di Dinas (PUPR) Kabupaten Sinjai Tahun Anggaran 2021 supaya dapat dikerjakan perusahaan milik Agung Sucipto dan Harry Syamsuddin.
Kata Ipi, Nurdin didakwa dengan dakwaan pertama dengan Pasal 12 huruf a UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) ke 1 KUHP. Atau kedua, pasal 12 B UU Tipikor Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
"Sementara Edy didakwa dengan dakwaan, pertama dengan Pasal 12 huruf (a) UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Atau Kedua dengan Pasal 11 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP," tukasnya. (mum-edo-fik/rif-ham)