Waktu itu belum ada teknologi tracing. Belum ada Apps monitoring. Belum ada sistem digital pengaturan logistik. Alat utama mereka hanya tekad yang kuat. Tegas. Pejabat tingginya banyak yang dipecat.
Langkah Wuhan itu diikuti kabupaten/kota lain di provinsi Hubei, yang beribu kota di Wuhan.
Diikuti pula provinsi lainnya.
Waktu itu kita masih punya uang. Sikap kita terbelah. Ada yang memberikan simpati ke Wuhan. Ada pula yang meledek –ups teganya.
Dalam tiga bulan Covid terkendali.
Ternyata wabah itu akhirnya masuk Indonesia. Padahal kita telanjur pede Covid tidak akan bisa masuk Indonesia. Kita menganggapnya remeh. Pun dr Terawan Putranto yang menjabat menteri kesehatan saat itu. Pun saya sendiri begitu.
Tapi begitu Covid kian marak, saya langsung menganggapnya bahaya. Begitu juga umumnya para dokter. Maka beberapa orang pun mengusulkan lockdown. Termasuk saya.
Waktu itu kita masih punya uang. Rp 400 triliun memang besar tapi kita punya. Setidaknya masih mudah mencari pinjaman.
Tapi angka Rp 400 triliun tersebut, saya akui, memang mengerikan.
Maka saya tidak ngomel ketika kita tidak melakukan lockdown. Apalagi masyarakat menyambut hangat putusan pemerintah saat itu. Pemerintah dipuji sebagai mampu memahami perasaan rakyat.
Belakangan, bahkan, mulai ada yang berbangga: strategi kitalah yang benar. Saya pun sempat mengakui bahwa kita memang hebat.
Tentu kini tidak ada lagi yang berani mengatakan strategi kita yang benar. Angka penderita Covid kita 54.000 di satu hari. Senin lalu –diumumkan Selasa. Brazil, yang sudah beberapa hari lebih baik dari kita, hari itu 57.000.