FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Terdakwa kasus gratifikasi proyek infrastruktur di Sulawesi Selatan, Edy Rahmat mengajukan eksepsi atau pembantahan terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Melalui Penasehat Hukumnya, Yusuf Lessy, Edy Rahmat membantah dakwaan yang yang didakwakan kepadanya.
Setidaknya ada tiga hal yang membuat mantan sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Sulsel ini mengajukan eksepsi.
Pertama, dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dianggap memuat peristiwa hukum yang tidak cermat.
Kedua, waktu dan tempat kejadian dianggap tidak jelas dan cermat. Dan ketiga, dalam penerapan hukumnya, juga dianggap tidak cermat.
"Pada prinsipnya dakwaannya, satu memuat peristiwa hukum tidak cermat, dua waktu dan tempat kejadian itu tidak jelas dan tidak cermat, dan ketiga dalam penerapan hukumnya tidak cermat," ujar Yusuf.
Ia pun berharap dalam sidang lanjutan nanti, pihaknya bisa meyakinkan majelis hakim terkait eksepsi yang diajukan
"Tiga bagian pokok yg menjadi dasar kami mengajukan eksepsi," tutupnya.
Edy Rahmat pun diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana dengan hukuman penjara maksimal 20 tahun.
Hal ini dibacakan oleh ketiga JPU KPK secara bergantian, yaitu M. Asri Irwan, Siswhandoni, dan Arif Usman, saat menjalani sidang perdana terdakwa Edy Rahmat secara luring terbatas di Ruang Sidang Utama Prof Harifin A.Tumpa, Pengadilan Negeri Makassar, Kamis (22/7/2021).
Edy diduga telah melakukan atau turut serta dalam perbuatan menerima hadiah atau janji untuk Gubernur Sulsel non-aktif, M. Nurdin Abdullah.
Melalui dirinya, Edy menerima uang tunai sejumlah Rp2,5 miliar, atau dari Agung Sucipto selaku pemilik PT Agung Perdana Bulukumba dan PT Cahaya Sepang Bulukumba.
Diduga uang tersebut diberikan agar NA selaku Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan, memberikan persetujuan bantuan keuangan terhadap Proyek Pembangunan Infrastruktur Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Sinjai Tahun Anggaran 2021.
Agar dapat dikerjakan oleh perusahaan yang digunakan Agung Sucipto dan Harry Syamsuddin.
Seharusnya kata M. Asri, selaku penyelenggara negara, harusnya terdakwa tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 angka 4 dan Pasal 5 angka 6 Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Jo Pasal 76 ayat (1) huruf a dan e Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Diduga Edy juga telah menyerahkan uang sejumlah Rp2,8 miliar, kepada Gilang yang merupakan Pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Sulawesi Selatan, dari total Rp3,24 miliar.
Dan sisanya sebesar Rp324 juta, diambil terdakwa untuk kepentingan pribadinya.
Atas perbuatannya, Edy juga diancam dengan pidana dalam Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana. (zaki/fajar)