Cobaan Karina

  • Bagikan

Saya pun ingat tidak semua siswa SMAK Santa Ursula Jakarta beragama Katolik. Demikian juga di SMAK Kanisius Jakarta –tempat suami Karina sekolah.

“Saya mewarisi tradisi baik di Santa Ursula. Dapat pasangan hidup dari Kanisius, hahaha,” ujar Karina bercanda.

Saya senang melihat Karina sudah bisa tertawa. Manis. Berarti duka di hatinyi sudah benar-benar berlalu. Setidaknya dia sudah lebih tenang menghadapi sidang komite etik malam harinya.

Puncak dukanyi terjadi ketika Karina dikejar batas akhir untuk memperoleh gelar doktor. Ujian doktor itu tertunda-tunda terus. Penyebabnya: ibunda Karina sakit kanker. Kanker usus.

Lebih sulit lagi: sang ibu –dokter spesialis kulit– tidak mau dikemo. Sebagai dokter sang ibu khawatir pada efek samping kemoterapi. 

Itu persis seperti saya. Saya juga tidak mau dikemo –ketika terkena kanker hati stadium 4 lebih 16 tahun lalu. Sebenarnya saya sudah dikemo. Di sebuah RS di Singapura. Sakit sekali. Tidak kuat. Saya minta dihentikan. Saya pilih biarkan saja mati. Saya sudah rela.

Tapi Karina tidak rela ibunyi meninggal dunia. Sang ibu, waktu itu 69 tahun, kian lemah. 

Usus sang ibu sudah berhasil dipotong. Sepanjang sekitar 60 cm. Di Jakarta.

Memang usus yang tersisa berhasil disambung. Sukses. Tapi protokol kanker masih mengharuskan sang ibu menjalani kemo. Teoretis, bibit-bibit kanker mungkin saja masih ada di sekitar itu. Atau di tempat lain. Itu harus dikemo. Agar tidak berbiak lagi.

Tapi sang ibu menolak untuk dikemo. Karina harus cari jalan lain. Karina ingat kunjungannyi ke Korea Selatan. Waktu itu bersama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Saat Ahok masih menjabat Plt Gubernur DKI Jakarta.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan