Mengajar di pelosok tak hanya memberikan pengalaman baru bagi Yudia Afandi. Suka duka pun dilalui mahasiswa UNM ini, termasuk mengajar di tengah aroma menyengat merica.
EDY ARSYAD, MAKASSAR
Cahaya kemerah-merahan di cakrawala di ufuk Timur belum juga muncul. Udara begitu dingin. Subuh menyapa,Yudia Afandi sudah bergegas.
Kendati geliat aktivitas masyarakat belum juga dimulai. Yudia dengan kendaraan roda duanya, melaju di tengah kegelapan dan dingin yang merasuk hingga ke tulang.
Mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM) ini harus ekstra berhati-hati, apalagi kondisi ruas jalan yang dilaluinya menanjak dan sesekali tikungan dan turunan tajam.
Sejauh mata Yudia Afandi memandang, hanya perkebunan warga di sepanjang jalan yang dilintasinya. Pengguna jalan masih dapat dihitung dengan jari.
Selama tiga bulan, aktivitas itu dilakoni Yudia.
Sekolah dan rumah orang tua Yudia di Kelurahan Laikang, Kecamatan Kajang, berjarak 35 kilometer. Mahasiswa UNM ini harus menempuh satu jam lebih perjalanan untuk mengajar di sekolah pelosok yang berada di Kecamatan Kajang itu.
Yudia Afandi merupakan salah seorang peserta Kampus Mengajar yang merupakan program turunan dari Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MB-KM) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI).
Ia memilih pulang ke kampung halamannya untuk mengabdikan diri mengajar di pelosok desa. "Saya kan dari Bulukumba dan itu berdasarkan domisili. Ke sana (SD 312 Sapaya, red)
membantu proses pembelajaran baik luring dan maupun daring di sekolah tersebut," bebernya.