FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Tiga suku besar di Sulawesi Selatan yakni Bugis, Makassar dan Toraja memiliki keanekaragaman tradisi dan bahasa berbeda.
Meski berada di satu daratan dan beragam perbedaan, namun ada satu hal yang menyamakan ketiganya yakni senjata khas bernama badik.
Muncul sebuah idiom mengatakan "Taniya ugi narekko de’na punnai kawali” (Bukan seorang Bugis jika tidak memiliki badik).
Zaman dahulu, badik dipergunakan bukan hanya sebagai senjata untuk membela diri dan berburu tetapi juga sebagai identitas diri dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan.
Setiap jenis badik bagi ketiga suku besar ini memiliki kekuatan sakti atau sakral yang dapat memengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya.
Tidak hanya itu ada juga yang berpendapat bahwa badik juga mampu menimbulkan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan bagi yang menyimpannya.
Sehingga meski kebanyakan masyarakat Bugis, Makassar dan Toraja telah pergi jauh ke perantauan, badik menjadi barang sakral yang turut serta dibawanya.
Salah satu jenis badik yang dianggap memiliki kesakralan adalah badik gecong atau kawali. Bagi masyarakat Bugis Bone, badik jenis ini biasanya dipakai oleh seorang raja dan bangsawan.
Hampir di setiap acara adat masyarakat Bone, badik gecong selalu hadir dalam rangkaian diantaranya pencucian badik pusaka raja Bone maupun acara tradisi tolak bala di Bone.
Kesakralannya semakin terlihat karena masyarakat Bone percaya badik gecong dibuat oleh makhluk halus dimalam hari yang mana dalam prosesnya hanya terdengar suara palu bertalu-talu hingga menjelang fajar. Pagi harinya badik itu sudah jadi.