Baik mana: lebih banyak bisa duduk-duduk yang membuat keluarga berinteraksi atau lebih banyak sibuk sampai tidak bisa memperhatikan keluarga?
Dalam kasus mengobrolkan Pak De itu jelas pengaruhnya pada saya: jadi membenci Pak De. Padahal orang tua saya sendiri, dalam kehidupan sehari-hari, saya lihat, bersikap sangat hormat pada Pak De. Hanya saja ayah saya selalu merasa tidak enak di setiap bulan puasa. Ia harus menggantikan Pak De jadi imam salat tarawih –karena hafalan ayat-ayat kitab sucinya lebih banyak. Dengan demikian di 27 rakaat itu –unit gerakan dalam salat– bisa selalu menampilkan surah –kumpulan sejumlah ayat– yang berbeda.
Isi obrolan yang didengar anak kecil pun bisa menimbulkan dorongan perbuatan menumbangkan tanaman.
Itu baru obrolan. Yang didengar secara tidak sengaja.
Masih ditambah obrolan sesama teman. Atau buku pelajaran.
Pengajaran di sekolah yang berulang-ulang lebih dahsyat lagi. Jadinya, ketika remaja, begitu banyak yang harus saya benci: Yahudi, Kristen, orkes melayu dari desa tetangga, Bani Ummaiyyah, Abu Jahal, pemain voli dari sekolah sebelah, tikus yang pernah makan kulit tumit saya sampai berdarah –saat saya tidur lelap di atas tikar. Saya juga membenci cangkul yang pernah membuat satu jari kaki saya hampir putus. Saya kencingi luka itu –begitulah salah satu cara pengobatan di sawah– sebelum meneruskan mencangkul lagi.
Setelah dewasa saya ke makam Pak De. Saya minta maaf di makam itu. Saya sudah berubah dari benci ke yang lebih netral.
Dari benci ke netral bisa juga karena pendidikan –termasuk pergaulan yang lebih luas, bacaan yang lebih bervariasi dan sikap kritis kepada apa saja.