Mereka itu termasuk anggota grup WA “Jurnalis”. Yang didirikan di tahun 2016, di masa bupati lama. Anggota grup itu 200 orang. Termasuk bupati dan wakil bupati Bojonegoro yang bertengkar itu. Pun bupati sebelumnya, Suyoto, juga masih menjadi anggota. Demikian juga wabup lama, yang tak lain paman wabup yang sekarang.
Di grup WA itulah bupati dan wakil itu berantem. Pemilihan diksi di situ ada yang dianggap mencemarkan nama baik.
Saya sendiri malu melihat copy pembicaraan di WA itu. Pertengkarannya tidak bermutu. Pun para pembaca Disway. Begitu banyak kecaman dari pembaca untuk tingkat logika kalimat yang parah di WA itu.
Sejak kapan mereka bertengkar?
Korslet pertama terjadi tiga bulan setelah pelantikan. Habis Magrib. Malam itu, Sekda Bojonegoro datang ke rumah dinas Wabup-kalau pun ditulis Wabub mestinya juga tidak salah, kalau itu dianggap singkatan dari wakil bupati beneran.
Sekda malam itu membawa segebok berkas, Minta tanda tangan. Cc
“Berkas apa ini?”
“Mutasi jabatan,” jawab Sekda yang sekarang sudah bukan Sekda lagi.
Wawan menolak tanda tangan. Alasannya: bupati baru tidak boleh mengadakan mutasi sebelum enam bulan. Yang lebih penting: ia sama sekali tidak diajak bicara soal mutasi itu.
Setelah itu masih banyak hal terjadi. Tidak usah saya ceritakan di sini. Yang terakhir saja. Ketika istri Wawan meninggal dunia-lebih 100 hari lalu. Bupati melarang jenazah sang istri disemayamkan di rumah dinas.
Wawan pun memutuskan jenazah istri disemayamkan di rumah pribadi. Tapi rumah itu sudah lama tidak dihuni. “Setelah dicek tidak mungkin untuk persemayaman. Kotor sekali,” ujar sepupu Wawan.