Setelah berhasil mengendalikan Covid, ekonomi Tiongkok meroket-eket-eket. Pertumbuhan ekonomi semester lalu 17 persen lebih. Surplus perdagangannya, bulan Agustus kemarin, mencapai puncaknya: USD 58, 34 miliar. Hanya satu bulan. Itu melebihi konsensus mereka sendiri yang akan membatasi diri di angka ’’hanya’’ USD 51 miliar.
Ekspor Tiongkok terus merajai dunia. Negara-negara yang ingin bangkit setelah Covid juga menambah permintaan.
Pokoknya, kekurangan listrik ini beda. Bukan karena krisis listrik seperti masa lalu Indonesia, tapi karena permintaan yang melonjak-lonjak (yang benar: melonjak saja).
Bagi golongan yang pro-lingkungan jarinya akan langsung mengarah ke perubahan iklim. Musim panas barusan suhu di Tiongkok ekstrem. Tapi setelah pesta kue bulan lima hari lalu suhu di sana mulai membaik.
Ketika saya menulis naskah ini suhu di Beijing sudah 23 derajat Celsius. Sudah sejuk sekali. Di Shanghai kurang lebih sama dengan di Jakarta: 31 derajat Celsius. Di Guangzhou yang mestinya lebih panas, ternyata sudah tinggal 28 derajat Celsius. Mungkin karena –seperti terlihat di Google– Guangzhou lagi dilanda hujan petir.
Musim panas di Tiongkok sudah berakhir –secara resmi. Yakni sejak diadakan pesta kue bulan minggu lalu. Setelah itu Tiongkok memasuki musim gugur.
Musim panas yang ekstrem ibarat mata pedang: di satu sisi banyak listrik ’’menguap ’’ di transmisi. Di sisi lain AC lebih banyak digunakan dengan mode coolest.
Saya sendiri punya perkiraan lain. Kekurangan listrik itu juga karena ini: debit air di semua pembangkit listrik tenaga air di Tiongkok mengalami penurunan yang drastis.