FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) Ulil Abshar Abdalla memberikan cara agar umat Islam saat ini bisa melihat Nabi Muhammad di Abad Ke-21.
Nabi Muhammad SAW sudah wafat sejak 1400 tahun atau sekitar 14 abad yang lalu, sehingga orang-orang yang hidup di abad ke-21 ini memiliki jarak yang sangat jauh dengan kekasih Allah itu. Sehingga orang-orang sekarang tidak bisa membayangkan perwujudan konkret Nabi Muhammad karena hidup di zaman yang sangat jauh berbeda.
Meskipun sejarah nabi bisa dibaca melalui buku-buku biografi yang banyak di era ini, tetapi tetap saja tidak bisa menyaksikannya secara langsung.
“Walaupun kita hidup di Abad Ke-21, tetapi kita bisa melihat kanjeng nabi secara visual. Caranya adalah dengan melihat para pewaris kanjeng nabi. Jadi, kita bisa melihat kanjeng nabi secara visual, secara kasat mata melalui mata kita ini dengan melihat pewaris-pewarisnya,” tutur Gus Ulil saat mengisi acara bertajuk Maulid Tasawuf Milenial, disiarkan langsung melalui akun facebook, dilansir dari NU Online, Selasa (19/10/2021).
Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad telah mengabarkan umat Islam dengan ungkapan al-ulama’ waratsatul anbiya’ atau para ulama merupakan para pewaris nabi. Hadits ini sudah sangat masyhur dan sering diungkapkan oleh banyak tokoh di berbagai kesempatan.
“Saya memaknainya, kanjeng nabi memang sudah wafat dan tidak bisa dilihat lagi, tetapi kita bisa melihat kanjeng nabi melalui wakil-wakilnya atau pewarisnya, yaitu ulama. Pertanyaan besarnya, apakah setiap orang yang disebut ulama adalah pewaris nabi? Ini pertanyaan yang sulit dijawab,” terang Gus Ulil.
Menurutnya, definisi ulama adalah orang-orang berilmu yang ada keterkaitan dengan cara menuju pada kehidupan kelak yaitu akhirat. Dengan kata lain, ilmu yang dimiliki ulama itu akan membuat manusia sampai pada kehidupan akhirat secara selamat.
“Itu adalah orang-orang yang disebut ulama, memiliki Ilmu akhirat dan tidak semata-mata ilmu agama. Imam Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menyebut ilmu akhirat itu tidak harus ilmu yang punya label agama. Tetapi bisa juga ilmu-ilmu yang labelnya sekular seperti pertanian, bisnis, fisika. Tetapi ilmu-ilmu ini membawa orang sampai pada kehidupan akhirat. Membuat kita ingat pada Allah,” terangnya.
Di dalam Al-Qur’an juga telah disebutkan definisi ulama, yakni innamaa yakhsallaha min ibadihil ulama. Artinya, orang-orang berilmu yang dengan ilmunya itu mampu membawa kepada sifat khasyah atau takut kepada Allah. Inilah definisi ulama sesungguhnya.
“Ilmunya bisa apa saja, tetapi hasil akhirnya adalah takut kepada Allah. Karena kata Al-Ghazali, banyak orang yang belajar ilmu berlabel agama, tetapi tidak menimbulkan khasyah atau tidak ada kesadaran ketuhanan yang timbul dari ilmu yang dipelajari itu. Ini bukan ulama,” jelas putra Pengasuh Pesantren Mansajul Ulum, Pati, Jawa Tengah, KH Abdullah Rifa’i itu.
Ia lantas mencontohkan salah satu ulama sepuh di negeri ini yang dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi Nabi Muhammad secara visual. Ulama itu adalah Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sekaligus Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang, Jawa Tengah, yakni KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus.
“Saya memandang Gus Mus itu sebagai orang yang kira-kira kalau njenengan ingin melihat nabi secara visual ya seperti Gus Mus. Cuma kanjeng nabi tentu 1000 kali lebih dari Gus Mus atau di atas itu. Tetapi ada unsur kenabian di dalam perilaku para ulama seperti yang kita lihat di pesantren-pesantren itu. Salah satunya Gus Mus ini,” terang Gus Ulil, yang juga merupakan menantu Gus Mus.
Dikatakan Gus Ulil, sosok-sosok yang dinilai sebagai perwakilan Nabi Muhammad di era sekarang adalah memiliki ciri bahwa kehadirannya membuat orang lain merasa menjadi manusia seutuhnya.
“(Tentang manusia) itu temanya Gus Mus kalau pidato di mana-mana selalu soal manusia. Manusia yang menjadi manusia. Tindakan-tindakan Kiai Mustofa Bisri sehari-hari kalau saya bayangkan kanjeng nabi itu ya kira-kira seperti itu tindakannya,” tegas Gus Ulil. (dra/fajar)