SAYA di Gunung Kawi kemarin. Di dekat-dekatnya. Ada Mas Yanto di situ. Yang lagi melakukan ”kekejaman” rutinnya: ia petik buah-buah durian yang masih kecil. Ia buang ke tanah.
Saya berteriak-teriak di depannya. Saya tidak tahan menyaksikan ”kekejaman” Mas Yanto itu. Eman sekali. Begitu banyak pentil durian yang ia renggut dari dahan. Untuk dia buang begitu saja.
Saya tidak sampai hati melihatnya. Tapi pohon durian itu miliknya sendiri ?”saya tamu di kebun itu. Hati saya teriris setiap kali tangan Mas Yanto meraih pentil durian, merenggutnya dan membuangnya.
Pentil ?”Bahasa Jawa?” adalah buah yang masih kecil. Masih sangat muda. Masih bayi. Kebun durian Mas Yanto sedang memasuki musim pentil. Satu pohon bisa memiliki 100 pentil lebih. Kalau semuanya bisa membesar menjadi durian alangkah lebatnya buah di pohon itu.
Itu tidak mungkin. Sebagian besar, pentil itu, akan jatuh sendiri ke tanah. Mungkin minggu depan. Mungkin bulan depan. Atau depannya lagi.
Mas Yanto tidak mau itu. Sama-sama akhirnya rontok lebih baik digugurkan saat masih sangat kecil. Agar sari makanan yang dari pohon bisa fokus untuk membesarkan pentil-pentil yang bentuknya sempurna.
Mas Yanto bisa membedakan mana pentil yang akan menjadi durian dan mana yang akan gugur muda. Toh kalau semua menjadi buah dahannya tidak akan kuat. Satu dada wanita bisa digantungi dua gunung besar, tapi satu dahan durian akan patah digantungi begitu banyak buah.
Mas Yanto membatasi satu dahan hanya boleh digantungi 4 durian. Agar kualitas duriannya sempurna. Maka Mas Yanto tega saja hanya menyisakan 4 pentil di antara puluhan yang ada di satu dahan.