Oleh: Tomi Lebang
FAJAR.CO.ID--Tanah Makassar ini mengingatkan saya pada sosok politisi tua yang sudah berpulang sekian tahun yang silam. Namanya Alim Bachrie. Ia tokoh Golkar Sulawesi Selatan. Ia pernah menjabat bupati dan di puncak karirnya ia menjadi Ketua DPRD Provinsi Sulsel.
Setiap orang yang pernah mengenal Alim Bachrie akan mengenangnya sebagai orang tua yang ramah, bijaksana, akrab, mengayomi dan tiada memandang perbedaan siapapun di depannya. Setiap kali bertemu dengannya, ia akan terlihat sangat merindukanmu.
"Dari maana ko, ka'blamma. Sudah lama kucari. Kau lupakamma…" begitu sapaannya yang sangat khas dan sungguh akrab. Ia merangkul, menatap dengan antusias. Seolah-olah, orang yang di depannya sungguh penting.
Dan karena itulah, nama Alim Bachrie bagi yang pernah mengenalnya di Sulawesi Selatan sampai sekarang pun tetap mewangi.
Saya mengenal sejumlah politisi yang wara-wiri di negeri ini dengan satu kesamaan karakter belaka: bila bertemu siapa saja mereka menunjukkan mimik yang akrab, merindukan, gerak tubuh yang antusias, dan menempatkanmu dalam posisi yang begitu penting.
Di Jakarta, ada seorang ketua partai besar. Tak perlu menyebut namanya. Bila berpapasan di satu tempat, restoran atau satu acara, ia akan keluar dari kerumunan kerabatnya dan lekas-lekas mendekat: "Saya melihatmu dari jauh. Kau betul-betul sombong sekarang. Tak pernah datang ke kita ini," katanya. Dia lupa, untuk menemuinya, tentu harus melewati berlapis-lapis manusia yang tak semuanya ramah.
Ada juga pejabat politisi yang bila ditelepon akan mengangkatnya pada deringan kedua dan menjawab riang: "Toommm, pa kabar? Ada perintah?" Jawabannya membuat leher meregang memanjang, dagu mengangkat, kepala membesar. Seolah-olah saya sungguh penting di matanya.
Seorang politisi lain saya ingat benar selalu dengan kalimat yang membesarkan: "Terima kasih, dek. Hanya kaulah yang saya harapkan, tidak ada orang lain." Dan kalimat itu ia ucapkan ke seribu orang lainnya.
Atau seperti ini: "Semua ini berkat dukunganmu, dinda. Kalau kau tidak ada, mau jadi apa saya ini." Dan di luar sana ada seratus orang yang menghapal kalimatnya ini.
Begitulah.
Bertemu dengan politisi-politisi handal, perasaanmu akan melambung tinggi, merasa diri begitu penting, pandai dan dibutuhkan. Keakraban yang mereka tunjukkan membuatmu tak sempat menyisakan ruang di pikiran untuk keragu-raguan, bahwa sebenarnya dia bahkan tak tahu atau tak ingat namamu.
Mereka tak menampakkan sedikit pun mimik basa-basi. Dan karena itulah mereka berhasil sebagai politisi. Selalu dipilih kembali. Dipuja dan dipuji.
Selamat pagi.
-- Makassar, 6 November 2016