Popularitas yang muncul dari viral medsos, dianggap sebagai suatu fenomena baru. Ada yang berhasil, namun banyak juga yang temporal.
FAJAR.CO.ID – Masih ingat Norman Kamaru? Mantan anggota Brigade Mobil (Brimob) Polda Gorontalo itu salah satu tokoh yang pernah viral. Popularitas melejit bak roket.
Sayang, eks personel polisi berpangkat terakhir Briptu kelahiran Gorontalo, 27 November 1985 itu, gagal mempertahankan popularitasnya. Belakangan, meredup, lalu menghilang.
Di Sulsel, juga banyak sosok yang pernah viral. Ada Bunda Ela yang terkenal dengan "menyemangatita", Ajudan Pribadi dengan orasi uniknya, dan Ani Vina dengan wajah yang mirip Presiden RI Joko Widodo.
Ada pula Rinto Daeng Sitaba yang populer berjualan bakso berpakaian eksekutif. Mengenakan jas dan dasi, sepatu pantofel, dan celana kain, ia berkeliling jualan bakso. Aksi pun sempat viral.
Terakhir, ada Resa, perempuan asal Dusun Bontotinggi, Desa Marayoka, Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto. Ia mendadak terkenal lantaran suaranya yang mirip Nike Ardilla, artis slow rock era 1990-an.
Resa pun dalam sekejap telah berada di ibu kota. Tayang di televisi nasional. Lalu, bagaimana melihat fenomena ini? Seperti apa gambaran masa depan mereka yang viral, lalu populer?
Penyanyi asal Makassar, Suryati AR Ridwan mengatakan, dirinya pribadi memandang itu sebagai hal yang positif.
Apalagi, kata vokalis Jadnsugy Band ini, pada zaman sekarang, ini merupakan hal yang wajar.
Menurutnya, hal itu justru menjadi kesempatan besar bagi siapa saja untuk memanfaatkan peluang yang ada.
“Syukur-syukur kalau ada yang mensupport itu bagus sekali. Tentunya bakal menjadi potensi besar bagi Resa pribadi,” ujar Suryati yang juga jebolan ajang pencarian bakat X-Factor Indonesia ini, Minggu, 21 November.
Selain memiliki suara yang khas, Resa beruntung juga karena kondisi masyarakat saat ini memang cenderung update terhadap kejadian-kejadian viral.

Di samping, vokal Resa yang merupakan gift dari Tuhan, disandingkan dengan idola mereka.
Meski, ia tidak memungkiri banyak orang yang mengalami virak seperti Resa, namun belakangan nasibnya berbeda. Yang pasti, saat ini media sosial (medsos) berperan penting dalam mengangkat bakat dan potensi.
Yang penting, harus pintar-pintar melihat momen yang tepat. “Itulah mengapa tidak semua orang bisa mendapatkan itu,” ucap Suryati.
Aksi mencari popularitas adalah hal yang wajar dan merupakan bentuk usaha dari para pemilik bakat agar bisa menyalurkan kemampuan. Tetapi, sebagai seorang yang professional, sepantasnya terus berkarya dan tidak bergantung pada kondisi viral.
“Jangan pernah menganggap harus viral baru berkarya. Banyak orang di luar sana tidak harus viral, namuni bisa dikenang.
Untuk Anda yang punya kemampuan, maka berkaryalah. Terus mengeksplorasi diri semampu dan sebisanya. Selebihnya akan berproses dan pastinya menuai hasil,” jelasnya.
Ke depan, diperlukan inovasi dan kreativitas yang terus diasah dan tidak bergantung pada viral. Ditambah lagi, virak tidak menjamin karier akan menanjak terus. Bisa jadi, setelah viral, redup.
"Selebihnya tumbuhkan kepercayaan diri, bahwa bukan hanya karena viralnya, tetapi memang dirinya memiliki kemampuan itu," pesan Suryati yang sudah 30 tahun berkarya di belantika musik ini.
Keyword Artis
Pakar Informasi dan Teknologi (IT) Unhas, Indrabayu menilai keyword (kata kunci) tentang sosok populer turut mempercepat Resa dikenal. Dari sisi teknologi, keyword artis dan tokoh populer, sudah pasti akan viral.
"Itu memang asli keyword di media sosialnya. Jelas sekali kalau kata Nike Ardilla, kan, populer, dikenal sekali. Jadi kalau ada keyword yang seperti itu, maka kemungkinan viralnya terjadi. Bukan karena algoritmanya," kata Indrabayu.
Di sisi lain, relasi antara konten dengan keyword sangat pas sehingga dengan cepat mendapat viewers. Keunikan menjadi syarat yang dimiliki Resa sehingga sangat cepat melejit.
“(Memang) harus memiliki keunikan tersendiri, lalu bisa menambah tagging yang related di Instagram juga di Twitter, misalnya. Di Facebook, ada Facebook Ads. Pilih saja kata kunci yang seksi dan tengah diperbincangkan, maka akan membuat viral itu cepat terjadi,” ujarnya.
Meski begitu, ia menggarisbawahi, fenomena viral di masyarakat Indonesia masih perlu tambahan literasi digital untuk menciptakan konten yang lebih berkualitas lagi. Di samping mencegah berita hoaks dan sejenisnya.
“Literasi digital masyarakat masih lemah sehingga perlu ada upaya pencerdasan dari sisi ini. Perlu edukasi khususnya terhadap konten viral lainnya yang tidak mendidik bahkan hoaks. Tidak sekedar popularitas semata,” sarannya. (bus/zuk)