FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin mencermati terjadinya bencana banjir, baik yang terjadi di Indonesia maupun di negara tetangga, seperti Malaysia yang berlangsung di penghujung Desember 2021. Hal ini sekaligus mengingatkan bahwa ancaman La Nina telah terbukti mengakibatkan bencana alam.
Ia menjelaskan, La Nina merupakan fenomena mendinginnya suhu permukaan air laut di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur, hingga melewati batas normalnya yang menyebabkan peningkatan curah hujan terjadi sebulan terakhir. Negara Indonesia dan sekitarnya telah merasakan dampaknya yang apabila kondisi daratan tidak mampu menghadapi, maka yang terjadi adalah banjir berkepanjangan.
Daratan yang tidak mampu menahan curah hujan akibat La Nina disebabkan oleh keseimbangan lingkungan terganggu akibat ulah manusia. “Kerusakan lingkungan berskala besar ini akibat banyak ijin penggunaaan kawasan hutan untuk tambang. Ini sudah berlangsung bertahun-tahun,” terang dia dalam keterangannya, Rabu (22/12).
Untuk beberapa daerah, ada dugaan akibat pembukaan hutan untuk program food estate, namun ini masih perlu pembuktian dengan evaluasi mendalam. Menurutnya, yang jelas apabila pemindahan Ibu Kota Negara dipaksakan dengan membuka lahan hutan yang signifikan, dampak kerusakan lingkungan akan semakin parah.
Akmal menjabarkan, pada 2020 lalu La Nina memicu curah hujan tinggi dan bahkan pada November 2020 sempat memicu banjir dan longsor secara bersamaan di berbagai daerah. Selain itu, banjir yang dipicu La Nina juga merusak tanggul dan menyebabkan air bah melimpas ke permukiman.
Baru-baru ini, penyebab banjir yang terjadi di Kalimantan Barat tidak lain adalah karena berkurangnya tempat penyerapan air saat debit hujan tinggi, karena sebagian lahan sudah berubah menjadi tambang dan perkebunan sawit.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini meminta kepada pemerintah agar melakukan upaya restorasi ekosistem dan restorasi lingkungan, termasuk melakukan evaluasi terhadap izin tambang dan izin kebun sawit yang tidak memperhatikan tata kelola ekosistem. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mesti menyiapkan langkah-langkah antisipatif akan adanya kemungkinan banjir pada daerah-daerah yang Daerah Aliran Sungai (DAS) rusak.
“Selain hutan yang rusak, data dari KLHK sendiri di tahun 2018 menunjukkan luasan lahan kritis nasional seluas 14,1 juta hektar. Bila pemeritnah mampu merehabilitasi lahan kritis rerata tiap tahun seluas 250 ribu Hektar, maka butuh 40 tahun untuk menyelesaikan persoalan lahan kritis,” ungkap dia.
Ia juga membeberkan temuannya ketika mengunjungi Desa Mentawir, Kecamatan Selalu, Kabupaten Paser Penajam Utara, Kalimantan Timur beberapa waktu lalu. Akmal menemukan dampak buruk dari aktivitas perusahaan pertambangan batu bara pada kehidupan masyarakat.
Kualitas hidup masyarakat setempat sangat buruk akibat lingkungan yang tercemar. Pencemaran dan kerusakan lingkungan saat ini diakibatkan oleh perusahaan penambangan, ditambah izin perusahaan tersebut melebihi 42 hektare di luar dari izin yang dikeluarkan.
Untuk itu, dia meminta agar pemerintah berpikir ke depan, karena melihat dampak pertambangan tersebut akan berdampak pada sulitnya mendapatkan lahan dan pertanian untuk generasi mendatang, bahkan kondisi lingkungan ini mengundang datangnya bencana alam.
Ia berharap ke depannya perusahaan-perusahan serta pemerintah daerah taat aturan dan taat akan undang-undang yang ada, termasuk adanya sinergi antara pemerintah provinsi dan kabupaten kota, Kepolisian, Kejaksaan dan juga KLHK sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap lingkungan, hutan dan sekitarnya.
“Saya meyakini di Indonesia banyak yang melakukan kerusakan lingkungan yang sudah sistemik. Dengan demikian, ini menjadi masalah besar yang harus ada solusinya, bagaimana ke depannya Komisi IV akan membuat Panitia Kerja (Panja), guna melihat daerah-daerah di seluruh Indonesia, mana saja yang berpotensi melakukan pelanggaran, dan pelanggaran ini mesti ada perbaikan di masa yang akan datang,” pungkas Akmal. (jpg/fajar)