Gagal Paham Para Pengharam Ucapan Natal

  • Bagikan

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR-- Ucapan Selamat Natal ataupun hari-hari besar keagamaan di luar Islam akan terus menjadi kontroversi selama kelompok yang mengharamkannya masih gagal dalam membedakan antara aspek sosiologis dan teologis. Dengan kata lain, selama masih ada kelompok yang berkeyakinan menyampaikan ucapan selamat natal merusak akidah, maka anjuran pengharaman pun akan terus ada.

Demikian poin inti dari Podcast Serial Moderasi Beragama yang merupakan kerja sama Fajar Online dan Balai Litbang Agama Makassar, yang digelar di Studio Fajar Online, belum lama ini. Tampil sebagai pembicara tunggal, Dr Sabara Nuruddin, salah seorang peneliti madya BLAM.

"Mereka masih gagal paham, tidak bisa membedakan apakah ucapan selamat Natal itu di wilayah sosiologis atau teologis. Mereka yakinnya ini persoalan akidah. Padahal ini hanya prilaku sosial," kata Sabara.

Padahal para intelektual Muslim semuanya meyakini ini ranah sosiologis. Karena itulah, kita bisa mendapati para ulama besar di Timur Tengah selalu menyampaikan ucapan selamat natal setiap tahunnya. Tak hanya ucapan, tetapi juga memberikan bingkisan. Bahkan di Uni Emirat Arab, ada pohon natal raksasa dibuat.

Yang ganjil, lanjut Sabara, pengharaman ucapan selamat Natal baru mencuat sejak sepuluh tahun terakhir ini, dan semakin kampanyenya kuat seiring melejitnya popularitas media sosial. Sebelum tahun 2000, masyarakat Indonesia masih terbiasa memberikan ucapan selamat Natal hingga melakulan silaturahim.
"Ini sebenarnya sudah lama diteliti teman-teman di Litbang dan kita menemukan bahwa pengharaman ini baru muncul di awal tahun 2000an. Dan yang lakukan gerombolan yang itu-itu juga," katanya.

Dia mengingatkan, kampanye pengharaman ucapan natal atau hari-hari keagamaan memiliki dampak yang amat sangat buruk. Masyarakat muslim yang sebelumnya tenang, kini dibuat gelisah dengan adanya dalil-dalil Naqli yang ditafsirkan sebagai pengharaman ucapan natal. Padahal, itu hanya tafsiran sekelompok kecil orang, bukan pendapat mayoritas ulama. Mayoritas ulama, dalam hal ucapan selamat natal ini, mengambil sikap tidak mengharamkannya. Bahkan menganjurkannya.

Akibatnya, masyarakat yang termakan tafsiran tersebut, yang tadinya punya hubungan baik dengan tetangga atau kerabatnya yang Kristen, akan mengubah sikapnya menjadi acuh saat Hari Raya Natal tiba. Suasana yang tadinya akrab, akan menjadi beku. Di fase ini bisa saja akan mulai muncul bibit-bibit pemisahan hubungan, interaksi sosial dan mengarah pada intoleransi.

Apakah kontroversi ini bisa dihentikan? Sabara menjawab itu sulit. Sebab kelompok ini meyakini ucapan natal adalah persoalan teologis atau akidah. "Kecuali mereka bisa menerima bahwa ucapan natal itu dalam konteks sosial, untuk membina hubungan baik sesama anak bangsa, sesama manusia, itu baru bisa," kuncinya. (*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan