Mewujudkan Work Life Balance dalam Hybrid Work

  • Bagikan

Penulis: Deddi Nuryadi (Kasi Verifikasi dan Akuntansi KPPN Makassar II)

FAJAR.CO.ID -- Pandemi Covid-19 memaksa perubahan di berbagai aspek kehidupan, termasuk cara dan tempat kita bekerja yang sudah tidak dominan lagi membutuhkan kantor fisik untuk bekerja. Istilah Work From Home (WFH), Flexible Working Space (FWS) dan Hybrid Work sudah seringkali kita dengar. Survei Eksekutif McKinsey Global pada bulan Juli 2020 menyatakan hanya dalam waktu beberapa bulan, krisis COVID-19 telah membawa perubahan yang sebelumnya membutuhkan waktu bertahun-tahun dalam bagaimana cara perusahaan di semua sektor dan wilayah menjalankan bisnis mereka.

Di sektor publik, Kementerian Keuangan juga melakukan perubahan dan adaptasi, Salah satu milestone Inisiatif Strategisnya berupa New Thinking of Working. FWS Kementerian Keuangan awalnya ditargetkan pelaksanaannya di tahun 2021, tetapi merebaknya pandemi Covid-19 pada awal tahun 2020 mempercepat implementasinya.
Bekerja di Kementerian Keuangan adalah kebanggaan bagi sebagian orang, sebuah institusi yang memiliki budaya organisasi yang begitu kuat. Di satu sisi, bekerja merupakan kewajiban bagi semua orang. Namun di sisi lain, melakukan kegiatan pribadi maupun membentuk sebuah keluarga juga merupakan fitrah bagi semua orang baik laki-laki maupun perempuan.

Dalam kondisi dunia kerja saat ini, sebagian orang terpaksa mengorbankan kehidupan pribadi mereka demi menyelesaikan tugas kantor. Tuntutan pekerjaan juga seringkali membuat jam kerja 8 atau 9 jam sehari menjadi tidak lagi berlaku. Pada saat-saat tertentu seorang pegawai seringkali terpaksa menambah jam kerja untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang mendesak, bahkan kadang sampai harus dilakukan pada hari Sabtu dan Minggu. Pada hari-hari biasa pun, aktivitas pribadi di luar jam kerja seringkali disela oleh beragam instruksi yang berhubungan dengan pekerjaan.

Banyak lembaga survei telah melakukan riset terhadap dampak perubahan pola kerja selama pandemi. Antara lain survei yang dilakukan oleh Edelman Data X Intelligence di bulan Januari 2021 terhadap 31.092 pekerja (diambil dari Microsoft.com) menunjukkan produktivitas tetap sama atau lebih tinggi pada sebanyak 82 persen pekerja selama setahun terakhir. Satu dari lima responden survei mengatakan perusahaan mereka tidak peduli dengan keseimbangan kehidupan kerja mereka. 54 persen merasa terlalu banyak bekerja. 39 persen merasa lelah. Intensitas digital sehari-hari para pekerja telah meningkat secara substansial, dengan rata-rata jumlah pertemuan dan chats terus meningkat sejak tahun 2020. Hasil survei tersebut mengindikasikan bahwa di balik produktivitas tinggi ternyata berdampak pada tenaga kerja yang mengalami kelelahan.

Hasil lain dari survei tersebut adalah keberadaan Hybrid Work tidak bisa dihindari lagi. Para pemimpin bisnis berada di ujung pembaruan besar untuk mengakomodasi apa yang diinginkan para pegawai yaitu yang terbaik dari campuran tatap muka dan WFH, 66 persen pimpinan perusahaan memikirkan untuk mendesain ulang ruang kantor untuk hybrid work, 73 persen pegawai menginginkan pilihan flexible remote work tetap ada, dan 67 persen pegawai menginginkan lebih banyak kolaborasi paska pandemi.
Jika kita kembali pada konsep, definisi Work Life Balance menurut Lazar, Codruta & Patricia dalam Novelia (2013) adalah tingkat kepuasan seseorang atas keterlibatan dirinya untuk merasa “fit” dengan peran ganda yang dimilikinya dalam kehidupan.

Konsep ini berhubungan dengan adanya kesesuaian antara waktu dan usaha untuk bekerja dan menjalani aktivitas di luar pekerjaan agar mencapai kehidupan yang harmonis.
Lebih lanjut, Fisher (dalam Novelia, 2013) mengemukaan bahwa Work Life Balance merupakan stressor kerja yang meliputi empat komponen utama, yakni waktu, tindakan, ketegangan, dan energi. Keempat komponen tersebut saling mempengaruhi sehingga akan memunculkan empat kemungkinan, yakni (1) pekerjaan mengganggu kehidupan pribadi; (2) kehidupan pribadi mengganggu pekerjaan, (3) kehidupan pribadi dapat meningkatkan kualitas pekerjaan, serta (4) pekerjaan dapat meningkatkan kualitas kehidupan pribadi seseorang. Di dalam konsep Work Life Balance, tentu yang diharapkan terjadi adalah kemungkinan (3) dan (4), yakni kehidupan pribadi dan pekerjaan dapat berjalan beriringan pada koridor yang nyaman sehingga dapat saling mendukung untuk meningkatkan kualitas pekerjaan maupun kualitas kehidupan pribadi.

Psikolog Oktina Burlianti dalam talkshow Pengarusutamaan Gender Tahun 2021 memaparkan masalah dan solusi yang dialami oleh perusahaan Microsoft terkait Work Life Balance di era kerja Hybrid yang diambil dari Business Harvard Review, 2021. Terdapat peningkatan sebesar 200 persen waktu yang dihabiskan oleh pegawai untuk virtual meetings, email dan chats. Sebanyak 81 persen pegawai tidak puas, dan 42 persen pegawai merasa tidak produktif.
Pada awalnya, kolaborasi melalui sarana email, video conference/call, dan chats terlihat sebagai sebuah cara yang baik untuk saling terkoneksi. Namun ditemukan bahwa hal ini telah berubah menjadi Digital Exhaustion, dan memiliki dampak kesejahteraan. Dalam survei pegawai Microsoft yang dilakukan antara bulan April dan November 2020, kepuasan pegawai dengan keseimbangan kehidupan kerja turun sebesar 13 persen. Praktek kerja yang tidak berkelanjutan yang membuat mereka terikat pada teknologi.

Ketika waktu untuk kolaborasi meningkat, kesejahteraan turun. Pegawai yang paling banyak menghabiskan waktu untuk berkolaborasi, menghadiri rapat, menulis email, dan mengirim chat menilai kepuasan dan keseimbangan kehidupan yang lebih rendah daripada rekan kerja dengan waktu kolaborasi yang lebih sedikit. Kelompok pegawai yang puas tercatat menghadiri rapat 25 persen lebih sedikit dan menghabiskan rata-rata 6 jam lebih sedikit per minggu untuk berkolaborasi.

Di sisi lain, pegawai yang mampu menyusun prioritas dengan menetapkan fokus kerja memiliki kepuasan terhadap aspek work life balance. Orang yang mengambil jeda, melakukan liburan sejenak memiliki dampak nyata pada persepsi pegawai tentang keseimbangan kehidupan kerja. Pegawai yang dapat mengambil cuti untuk “recharge” memiliki rata-rata persepsi keseimbangan kehidupan kerja 8 poin persen lebih tinggi di daripada mereka yang tidak mengambil cuti.
Untuk meningkatkan kesejahteraan, perusahaan menemukan tiga akar masalahnya, yaitu kolaborasi yang selalu aktif, kurangnya waktu fokus, serta liburan dan waktu luang yang tidak terpakai.

Microsoft mulai memperbaikinya dengan beberapa cara seperti memprioritaskan pekerjaan, menetapkan batasan, dan mengevaluasi kembali rapat. Apa yang dilakukan Microsoft dapat diterapkan oleh perusahaan lain yang menghadapi tantangan tenaga kerja serupa, termasuk organisasi di sektor publik.

Pada dasarnya, Kementerian Keuangan menyadari konsep work life balance dan telah merespons dengan sebuah kebijakan yang mengakomodir kepentingan pegawai dalam menyeimbangkan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Kebijakan yang diterbitkan pada tahun 2017 dimaksud berupa Instruksi Gerakan Efisiensi sebagai Bagian Implementasi. ***

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan