“Anda itu jangan ngaku-ngaku sebagai wartawan senior. Ada ukurannya seseorang itu sebagai wartawan senior atau bukan. Minimal 25 tahun mengabdi di dunia jurnalistik tanpa henti,” terang Rusdy
Rusdy yang memulai karir jurnalistiknya sejak 1991 dan pada 1993 hingga saat ini bernaung di media Harian Umum Republika mengutarakan, seorang wartawan senior itu, selama karirnya pernah bertugas di beberapa tempat, baik lokal, nasional dan internasional serta di wilayah bencana alam, konflik maupun perang.
“Pernah meliput di beberapa bidang atau desk, politik, ekonomi, sosial, seni dan budaya, olahraga, kriminal, perkotaan. Selain itu juga menghasilkan karya jurnalistik yang berprestasi di tingkat daerah, nasional atau mungkin internasional,” jelasnya.
Dia menambahkan, kemudian juga secara konsisten berkontribusi membela kemerdekaan pers lewat berbagai gagasan karya dan kiprahnya memajukan SDM pers Indonesia melalui keterlibatan pribadi, organisasi, lembaga ataupun dalam mensosialisasikan UU Pokok Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
“Ada aturan dan etikanya menggeluti profesi jurnalistik. Ada kaidah bahasa yang baik dan benar yang tentunya mencerdaskan, tidak boleh mengandung unsur SARA, rasis, pornografi, apalagi provokatif, adu domba dan ujaran kebencian. Jadi, saya pikir Pak Edy itu bukan wartawan senior dan bahkan bukan juga mantan wartawan, mungkin lebih tepat, ia ‘bekas’ wartawan,” tutur Rusdy.
Klaim Edy sebagai wartawan senior dianggap Rusdy telah menciderai profesi wartawan yang memiliki marwah dan ruh mencerdaskan kehidupan bangsa serta sebagai pilar keempat demokrasi yang selalu mengedepankan kebenaran yang berlaku umum dan memperjuangkan kebebasan pers yang bertanggungjawab.