Sultan itu Pejuang, Bukan Banyak Uang

  • Bagikan
Cap Sikureueng - Stempel Kerajaan Aceh

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Mengenal nama Kesultanan, sebuah gelar pemberian leluhur Indonesia. Sultan disini adalah gelar untuk seorang manusia, yang dikatakan dia sebagai pejuang di daerahnya, memiliki kekuasaan atau menjadi raja, dan manusia yang bisa terhubung dengan Tuhan menggunakan cara Islam.

Beda halnya dengan zaman now, sebuah perumpamaan 'Sultan' bisa di dapatkan ketika orang itu sudah memiliki banyak uang, atau menjadi kaya raya. Seakan-akan uang menjadi nilai tertinggi dalam hidup, sehingga bisa mendapatkan gelar kesultanan. Tentu saja itu tidak bisa, itu dua hal yang berbeda.

Seperti yang dilansir dari ppid.acehprov.go.id Selasa (15/2/2022) , Ini dia cerita awal kesultanan di Aceh, saat Aceh masih menjadi sebuah Provinsi yang begitu megah dan menakjubkan dimasa lalu, zaman Belanda.

Kesultanan Aceh merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samudera Pasai yang hancur pada abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496- 1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.

Sultan Aceh merupakan penguasa/raja dari Kesultanan Aceh, tidak hanya sultan, di Aceh juga terdapat sultanah (sultan perempuan). Ini dia beberapa gelar-gelar yang digunakan dalam Kerajaan Aceh. Tengku, Tuanku, Pocut, Teuku, Laksamana, Uleebalang, Cut, Panglima Sagoe, Meurah.

Segala Hal Tentang Kerajaan Aceh Dalam Istana Darut Donya Cap Sikureung (cap Sembilan Meuligoe Gajah Putih), Pasukan Gajah Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873. Setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, hingga pada 1892 - 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.

Dr. Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, J.B. van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendricus Colijn, merebut sebagian besar Aceh Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904.

Saat itu, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda. Bangkitnya nasionalisme Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik.

Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Moehammad Hasan Saat Jepang mulai mengobarkan perang untuk mengusir kolonialis Eropa dari Asia, tokoh-tokoh pejuang Aceh mengirim utusan ke pemimpin perang Jepang untuk membantu usaha mengusir Belanda dari Aceh. Negosiasi dimulai di tahun 1940.

Setelah beberapa rencana pendaratan dibatalkan, akhirnya pada 9 Februari 1942 kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Masuknya Jepang ke Aceh membuat Belanda terusir secara permanen dari tanah Aceh.

Awalnya Jepang bersikap baik dan hormat kepada masyarakat dan tokoh-tokoh Aceh, hingga menghormati kepercayaan dan adat istiadat Aceh yang bernafaskan Islam. Rakyat pun tidak segan untuk membantu dan ikut serta dalam program-program pembangunan Jepang.

Namun ketika keadaan sudah membaik, pelecehan terhadap masyarakat Aceh khususnya kaum perempuan mulai dilakukan oleh personil tentara Jepang. Rakyat Aceh yang beragama Islam pun mulai diperintahkan untuk membungkuk ke arah matahari terbit di waktu pagi, sebuah perilaku yang sangat bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu pecahlah perlawanan rakyat Aceh terhadap Jepang di seluruh daerah Aceh. contoh yang paling terkenal adalah perlawanan yang dipimpin oleh Teungku Abdul Jalil, seorang ulama dari daerah Bayu, dekat Lhokseumawe. (riki/ fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan