Birokrasi ASN “Rebahan” dalam Metaverse

  • Bagikan
Muhammad Yassir/IST

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR—Tahun 1999 pernah tayang sebuah film dengan judul The Matrix yang dibintangi oleh aktor Keanu Reeves dan Laurence Fishburne. Film ini mempertontonkan aksi virtual pemainnya, dimana hampir semua pemerannya masuk dan beraktivitas termasuk berlaga secara virtual tetapi efek yang ditimbulkan dapat berakibat fatal secara realitas.

Aktifitas virtual juga sudah banyak dilakukan manusia seperti virtual meeting, chatting dan lain-lain. Virtualisasi seolah menjadi tren saat ini. Tidak mengherankan brand besar seperti Facebook maupun Microsoft berlomba-lomba menjadi kapital dalam dunia baru yang menggiurkan ini, termasuk di dalamnya office virtualiazation.

Ketika anda menyamakan kantor virtual ini seperti smart office atau e-office maka anda keliru. Ini tentu lebih besar dan mencakup aktifitas yang lebih luas dan bisa jadi lebih menantang dari dunia nyata, yang saat ini dinamakan metaverse. Banyak definisi tentang metaverse, tetapi sederhananya metaverse adalah seperangkat ruang virtual yang Anda dapat ciptakan dan jelajahi dengan orang lain yang tidak berada di ruang fisik yang sama dengan anda, bersifat real time dan tentunya dalam ruang 3D. Untuk memasuki dunia metaverse ini kita perlu device berupa virtual reality (VR) dengan teknologi augmented reality (AR).

Dalam virtual office versi metaverse, kita dapat membangun kantor sesuai tugas dan fungsi pelayanan yang ada di dalamnya. Jika kita tidak punya dana untuk membangun ‘kantor’, kapital seperti Facebook dan Microsoft sudah menyiapkan ‘kantor’ dengan segenap peralatannya, tinggal dipakai. Tentunya Anda harus menyewanya. Pejabat dan masyarakat akan bertemu di ruang virtual menggunakan avatar.

Bukan saja itu, mereka bisa merasa seolah berada di ruangan yang sebenarnya bersama-sama. Julukan yang diberikan untuk konsep bekerja secara virtual ini adalah Metawork. Metawork membuat semua orang melakukan perjalanan dinas dan berkunjung secara virtual tanpa melibatkan kontak langsung dengan yang bersangkutan. Semua dapat dilakukan secara virtual di sebuah dunia yang dinamakan Metaverse.

Dalam konteks metaverse, jangankan membangun kantor virtual kita juga bisa membangun ibukota negara. Kenapa tidak? Kapital-kapital yang telah saya sebutkan di atas telah membangun ‘planet’ baru dalam metaverse. Ketimbang menghabiskan dana besar dan waktu yang lama maka Ibukota dalam metaverse adalah salah satu solusi.

Ibukota baru yang 90% adalah kegiatan administrasi bisa dipindahkan ke metaverse. Pusat pemerintahan Negara Indonesia, pegawai Departemen bisa bekerja dari manapun tinggal diberikan VR. Metaverse akan menghilangkan gedung, kantor, administrasi dan tempat jualan retail dalam seketika. Jika berani, maka Indonesia akan menjadi negara ke dua yang pusat pemerintahannya 100% digital setelah Korea Selatan tentunya.

Peluang

Untuk mewujudkan birokrasi dalam metaverse ada beberapa peluang antara lain, pertama data BPS tahun 2020 menunjukkan pengguna internet di Indonesia telah mencapai 97 Juta orang. Angka ini menjadi driver sehingga mengurangi shock dalam implementasinya nanti. Kedua, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) gencar membangun Palapa Ring, menara Base Transceiver Station (BTS), dan Satelit Satria I tahun ini.

Semua infrastruktur digital di tiap lapisan ini ditargetkan rampung 2024. Kominfo juga menargetkan 5G merata di Indonesia pada 2024 sampai 2025. Ketiga, telah dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang kebijakan dan strategi  Nasional pengembangan e-government, serta Keputusan Presiden Nomor 2006 tentang pembentukan Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional.

Tantangan

Pertama, Jika sebelumnya ASN dikejutkan dengan Robot Artificial Intelligence yang siap mengambil alih beberapa pekerjaan ASN, maka tidak lama lagi "pengambilalihan" itu akan terjadi di dunia metaverse. Ini adalah keniscayaan kebijakan e-government di era New Public Services sebagai pengganti paradigma dan model birokrasi pemerintahan tradisional dan formalistik ala Weber.

Kedua, harus didukung internet kecepatan tinggi 5G and beyond. Ditambah lagi konektivitas internet di Indonesia belum merata. Masih ada 12.548 desa/kelurahan yang belum mendapatkan internet 4G. Sebanyak 9.113 di antaranya di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) dan 3.435 desa non-3T.


Apapun itu yang terpenting adalah kesiapan ASN menghadapi perubahan yang kian cepat. Keluar dari jebakan zona nyaman serta terus belajar meningkatkan kompetensi dalam ruang pembelajaran sebelum akhirnya menjadi produktif di zona pertumbuhan. Cepat atau lambat, dunia birokrasi akan ikut dilanda kemajuan teknologi metaverse. Pastikan anda siap masuk kedunia itu dan memanfaatkannya untuk pelayanan publik. Kabar baiknya, anda masih bisa rebahan saat ‘datang’ ke kantor. (*)

Opini

Dr. Muhammad Yassir, MT

Widyaiswara BPSDM Sulsel

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan