FAJAR.CO.ID, OPINI -- Kamis, 24 Februari 2022 menjadi hari dimana dunia internasional menyaksikan situasi geopolitik yang menantang sistem hubungan internasional dan hukum internasional yang selama ini menjadi panduan dalam tatanan dunia global saat Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan invasi secara skala besar ke Ukraina yang memicu perang diantara kedua negara. Rusia sendiri, pasca aneksasi Krimea oleh Rusia di tahun 2014 secara intensif meningkatkan kapabilitas militernya di perbatasan Rusia-Ukraina hingga pernyataan Invasi Kamis lalu. Invasi ini mendapatkan respon yang sangat keras dari dunia internasional.
Berbagai negara mengecam perang ini tak terkecuali Indonesia, sanksi embargo ekonomi diberlakukan oleh Amerika Serikat (AS) yang kemudian diikuti oleh negara-negara barat dan sejumlah negara di Asia Pasifik. Bahkan Swiss yang selama ini dikenal sebagai negara netral turut membekukan aset Putin dan warga Rusia lainnya. Memasuki sepekan perang Rusia - Ukraina, UNHCR mencatatkan 677 ribu orang telah mengungsi dari Ukraina ke berbagai negara tetangga sekitarnya. Disisi lain Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri mengajukan 1,7 miliyar dolar AS untuk mendukung operasional bantuan kemanusaian bagi Ukraina dan pengungsi di kawasan. Hal ini mendorong Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Rabu 2 Maret 2022 waktu setempat mengeluarkan sebuah mosi yang menuntut agar Rusia menghentikan serangannya dan segera menarik semua pasukan dari Rusia. Pemungutan suara memperlihatkan 141 negara memilih mendukung mosi tersebut, lima menentang dan 35 abstain.
Dari Perang Rusia dan Ukraina, secara lebih luas membuka kembali pertanyaan tentang bagaimana tatanan global khususnya PBB menyikapi hal ini? Masih relevankah status quo PBB dalam menyelasaikan konflik antar negara?
Pelanggaran terhadap Ketentuan Piagam PBB
Piagam PBB dikembangkan untuk tujuan menciptakan dunia yang lebih damai di mana negara-bangsa saling menghormati kedaulatan dan wilayah satu sama lain. Sayangnya, Piagam tersebut gagal untuk mendamaikan ketentuan-ketentuan yang bertentangan tentang integritas teritorial dan hak untuk menentukan nasib sendiri. Ini juga gagal untuk mengatasi ancaman terhadap kedaulatan suatu negara yang muncul dari dalam batas-batas teritorial suatu negara ketika individu menggunakan hak penentuan nasib sendiri. Tindakan militer Rusia terhadap Ukraina merupakan pelanggaran yang jelas terhadap beberapa prinsip hukum internasional sebagaimana digariskan dalam Piagam PBB dan Undang-Undang Akhir Helsinki.
Sebagaimana diatur dalam Piagam PBB, “Semua Anggota harus menahan diri dalam hubungan internasional mereka dari ancaman atau penggunaan kekuatan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara mana pun” (PBB, n.d.). Dalam Akta Akhir Helsinki, prinsip ini ditegaskan kembali dengan penekanan tambahan bahwa, selain menahan diri dari ancaman kekerasan atau penggunaan kekuatan secara langsung, “Negara-negara yang berpartisipasi” juga akan menahan diri dari “penggunaan kekuatan secara tidak langsung terhadap pihak lain yang berpartisipasi.
Selain itu pada 27 Maret 2014, Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 68/262, yang meminta semua negara "untuk berhenti dan menahan diri dari tindakan yang bertujuan untuk mengganggu sebagian atau total persatuan nasional dan integritas wilayah Ukraina, termasuk setiap mencoba untuk mengubah perbatasan Ukraina melalui ancaman atau penggunaan kekuatan atau cara-cara lain yang melanggar hukum." Seratus negara memberikan suara untuk mengadopsi Resolusi tersebut, tetapi khususnya, sebelas negara memberikan suara menentang, dan sebanyak lima puluh delapan negara abstain.
Pentingnya prinsip hukum kebiasaan internasional yang terkandung dalam Pasal 2 Piagam PBB, yang mewajibkan semua negara untuk menahan diri dalam hubungan internasional mereka dari ancaman atau penggunaan kekuatan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara manapun dan kebutuhan untuk menyelesaikan masalah internasional perselisihan dengan cara damai. Namun Invasi Rusia ke Ukraina melanggar Pasal 2(4) Piagam PBB, yang melarang penggunaan kekuatan terhadap integritas teritorial negara lain. Presiden Rusia Vladimir Putin menyelubungi tindakan militer Rusia dalam pembenaran hukum selama pidatonya pada 24 Februari. Sementara pembenaran itu tidak masuk akal, pidatonya menyoroti bahwa hukum internasional mempertahankan beberapa signifikansi retoris sementara secara bersamaan menggarisbawahi betapa lemahnya pembatasan hukum dalam praktiknya.
Faktanya, penegakan hukum internasional yang terpusat oleh PBB dihadapkan pada persyaratan konsensus, yang terkadang sulit dicapai. Juga, aturan-aturan sekunder penegakan hukum PBB lemah untuk secara efektif mendukung aturan-aturan primer, akibatnya menunjukkan keterbatasan umum dari efektivitas hukum internasional. Mekanisme pelaksanaan pasal 42 dan 51 tidak didefinisikan secara jelas dan universal dalam Piagam PBB; oleh karena itu, hanya organisasi regional seperti UE, NATO, bekas Pakta Warsawa, dan ASEAN yang memiliki aturan dan prosedur yang jelas untuk menjaga keamanan regional.
Pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Tujuannya, dan Kegagalan Piagamnya untuk Mengatasi Masalah Perang Rusia-Ukraina
PBB dianggap sebagai organisasi keamanan kolektif global utama untuk menjaga keamanan dan menjaga stabilitas di dunia. Pembentukan PBB didasari untuk mengatasi kekurangan dan kelemahan organisasi keamanan kolektif internasional sebelumnya Liga Bangsa-Bangsa. Upaya PBB pada kaitannya Perang Rusia-Ukraina ditandai oleh usulan rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB (DK PBB) yang dirancang oleh Amerika Serikat. Resolusi ini berisi menyesalkan serangan Rusia ke Ukraina, dimana keputusan ini diambil pada Jum’at 25 Februari 2022. Adapun hasil pemungutan suara pada rancangan keputusan ini mendapat veto dari Rusia yang disaat bersamaan bertindak sebagai Chairman pada pertemuan DK PBB itu, 11 dari 15 negara lainnya mendukung rancangan resolusi PBB tersebut. Sedangkan 3 negara lainnya memilih abstain dari yakni China, Uni Emirat Arab dan India.
Pada pertemuan DK PBB ini kita melihat bagaiamana para negara DK PBB turut mempertimbangkan perilaku negara-negara lain untuk menentukan keputusan atau Decision Making. Dalam International Assumption, fenomena yang terjadi dimana negara anggota DK PBB bisa saja memilih untuk secara kolektif memvote selain Rusia namun negara anggota DK PBB perlu untuk mengkalkulasi terutama konsekuensi yang akan diperoleh akan mempengaruhi hubungan bilateral dengan Rusia. Keadaan sistem internasional secara keseluruhan pada saat ini menentukan setidaknya garis besar dan terkadang menentukan keberpihakan yang menunjukkan negara mana yang kemungkinan besar akan disusun untuk dan terhadap kebijakan tertentu.
Dari dinamika ini bisa kita lihat faktanya, kinerja DK PBB sepenuhnya bergantung pada posisi aktor internasional yang kuat dalam hal ini Lima negara anggota tetap DK PBB yakni Cina, Prancis, Rusia, Inggris, dan AS. Sementara itu, ada masalah mekanisme pengambilan keputusan PBB terletak pada prosedur veto DK PBB yang secara berkala merusak prinsip-prinsip keamanan kolektif seperti yang terjadi pada resolusi perang Rusia-Ukraina.
Beberapa faktor penting memperkuat kelemahan ini: kurangnya kesamaan identitas di antara anggota DK PBB, dominasi ketentuan paradigma neo-realisme dalam kebijakan luar negeri mereka, dan perbedaan pandangan tentang ketentuan hukum internasional: kedaulatan internal versus perlunya intervensi kemanusiaan. Oleh karena itu, aktor kuat tatanan internasional harus mempertimbangkan kekurangan ini dan meluncurkan reformasi komprehensif proses pengambilan keputusan PBB untuk bereaksi lebih baik setidaknya dalam krisis kemanusiaan internasional. Jika tidak, PBB dapat mengalami nasib Liga Bangsa-Bangsa.
Kesulitan-kesulitan tradisional PBB menyangkut argumen-argumen lanjutan yang terus berlanjut: ketergantungan Dewan Keamanan pada posisi aktor-aktor utama dunia (hak veto); interpretasi yang berbeda dari hukum internasional oleh negara-negara; dilema kedaulatan negara versus kebutuhan intervensi HAM; perbedaan penafsiran tentang hak berperang (Jus ad Bellum); pendekatan yang berbeda terhadap keadilan; dan pendekatan yang berbeda dari politisi dan pengacara mengenai ketentuan hukum internasional. Solusi dari ketidaksepakatan tersebut sangat penting untuk keputusan negara-negara konsensual untuk membangun mekanisme fungsional yang jelas dari sistem keamanan kolektif saat ini. Kelemahan dan kekurangan PBB pada periode krisis internasional atau kebutuhan untuk secara fungsional menyelesaikan konflik internasional seperti perang Rusia-Ukraina.
Disisi lain, struktur internasional memaksa negara-negara yang mencari rasa aman untuk bertindak agresif terhadap satu sama lain. John Mearsheimer, seorang akademisi politik asal AS menyebutkan bahwa suatu negara tidak akan pernah bisa yakin tentang niat negara lain. Hal ini sebagai suatu ketakutan yang tidak akan pernah bisa sepenuhnya dihilangkan. Menjadikan negara melihat semakin kuat negara mereka dibandingkan saingan nya, maka semakin besar peluang mereka untuk bertahan hidup.
Sehingga alasan mengapa Presiden Putin kemudian melakukan invasi yang secara agresif bukan hanya karena sikap pribadinya atau rasionalitasnya semata, tetapi karena struktur internasional yang membuatnya bertindak demikian. Sebaagaimana Stein mengkategorikan ancaman dalam hubungan internasional menjadi dua jenis. Ketika para pemimpin menggunakan strategi seperti pencegahan, misalnya, mereka menunjukkan komitmen mereka dan menyelesaikan sebagian dengan mengeluarkan ancaman kepada calon penantang. Ancaman semacam ini kondisional. Hal yang relevan dengan kesuksesan strategi bukanlah ancaman itu sendiri, tetapi persepsi ancamannya. Sering kali terdapat kesenjangan antara niat para pemimpin negara yang mengeluarkan ancaman dan persepsi orang lain. Pemimpin tidak hanya memahami ancaman yang dikomunikasikan oleh pihak lain tetapi juga ancaman yang ada di lingkungan. Ini disebut sebagai ancaman situasional. Keakuratan dalam persepsi ancaman situasional bahkan lebih bermasalah bagi pembuat kebijakan untuk dicapai dan dibangun oleh para stakeholder dalam suatu kebijakan Faktor ancaman NATO akan memperluas pengaruhnya ke wilayah Rusia secara spesifik ancaman kehilangan akses ke pangkalan angkatan laut di Sevastopol, yang oleh sebagian orang dianggap sangat penting dalam mengendalikan Laut Hitam serta kemungkinan Ukraina beralih dari status "non-blok" ke anggotan NATO. Mendorong Putin dan rekan-rekannya telah berpikir dan bertindak sesuai dengan perintah realis, sedangkan di sisi lain para negara Barat mengikuti ide liberal tentang politik internasional. Saat ini Pemerintah Barat menolak kemungkinan menggunakan kekuatan militer mereka secara langsung. Pemerintah AS, dan pemerintah anggota Uni Eropa dan negara-negara Barat lainnya memberlakukan sanksi ekonomi dan perjalanan terhadap Rusia.
Kerentanan Tata Dunia Saat Ini
Secara keseluruhan, PBB membentuk mekanisme yang mendukung norma-norma politik dan hukum terhadap penggunaan kekuatan untuk melindungi kedaulatan. Format Dewan Keamanan PBB saat ini telah berkontribusi pada stabilitas tatanan internasional. Sayangnya DK PBB telah menunjukkan kekurangannya tercermin pada perang Rusia-Ukraina, dimana DK PBB tidak menghasilkan keputusan bersama. Hal ini memperlihatkan apa yang disebut oleh Waltz (2002) sebagai kondisi struktualist post cold war yang ditenggarai oleh dua fator lemahnya efek interpendensi di Eropa dan peranan institusionalist yang terbatas yang menyebabkan terjadinya democratic war seperti yang terjadi pada perang Rusia-Ukraina. Oleh karena itu, DK PBB, sebagai entitas politik-yuridis, harus membuat keputusan politik dalam situasi destabilisasi internasional yang kritis. Pada tahap ini, masalah utama dari ketidakefektifan Dewan Keamanan PBB adalah belum terbentuknya kesamaan identitas internasional untuk menilai situasi krisis secara universal dan keterbatasan mekanisme pengambilan keputusan veto sebagai bentuk distribusi kekuasaan informal yang tidak simetris ini merupakan penentu pengaruh terhadap masa depan PBB.
Perang Rusia-Ukraina merupakan perwujudan krisis internasional yang harus diselesaikan dengan upaya internasional bersama, yang perlu adanya pendekatan baru untuk merevisi tatanan internasional saat ini. Menjaga dari perang antarnegara itu sendiri merupakan tugas besar bagi hukum internasional dan lembaga internasional seperti PBB.

Penulis: Emil Mahyudin S.IP., MAIR.,P.hD(C) (Dosen Hubungan Internasional Universitas Padjajaran)