"Saya jual ubi tidak ada yang beli akhirnya menghitam dan busuk. Jual ikan pun begitu, saya bangkrut," kenang Amran menceritakan kisahnya kepada fajar.co.id, sesaat lalu.
Pria kelahiran Bone, 27 April 1968, itu tak canggung mengaku terlahir dari keluarga serba kekurangan secara ekonomi.
Setamat SMA, Amran diterima di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar. Namun melihat kondisi ekonomi keluarganya yang serba pas-pasan, Amran pun ragu melanjutkan pendidikan perguruan tinggi.

Saat itu gaji ayahnya sebagai tentara hanya Rp116 ribu untuk menghidupi seorang istri dan 12 anak.
"Ibu saya bilang (dengan bahasa bugis) lanjut saja kuliah. Soal biaya jangan dipikirin, pasti dikasih jalan," kata Amran.
Optimisme sang ibu memecut kembali semangat Amran untuk melanjutkan pendidikan.
Meski saat itu ia akhirnya tahu, ibunya harus pontang panting meminjam uang ke tetangga karena hasil buminya tidak cukup untuk membayar iuran semester kuliahnya.
"Pernah ibu pinjam uang Rp 200 ribu ke tetangga untuk kuliah saya. Setelah beberapa tahun kemudian, anaknya tetangga yang pernah pinjami ibu uang terlilit utang senilai mobil. Datang ke saya minta tolong, langsung saya lunasi semua utangnya," kisahnya.
Amran juga sempat bekerja sebagai buruh pabrik gula di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV. Honornya Rp150 ribu per bulan.
Hanya tiga tahun ia bertahan. Bukan karena honornya yang kecil, idealismenya akan kejujuran membuatnya tak kerasan.

Naluri bisnisnya kembali membuncah ketika ia berhenti menjadi pegawai.