FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Ketua Majelis Istiqamah ICMI Muda, AM Iqbal Parewangi mengungkapkan, ada beberapa masalah yang dihadapi rakyat dan para elit Indonesia saat ini.
Hal itu disampaikan Iqbal dalam diskusi Cendekia yang dilaksanakan secara daring oleh Dialektika Institute bersama ICMI Muda, 6 Maret 2022.
Untuk masalah di level elit antara lain, kontroversi regulasi terbaru terkait azan & speaker Masjid, itu 1 puzzle sederhana. Bisnis PCR pejabat tinggi 1 puzzle. Wacana amandemen 1 puzzle. Pemindahan IKN 1 puzzle. Penundaan Pemilu utk perpanjangan masa jabatan presiden juga 1 puzzle lagi.
Sementara masalah yang terjadi di level rakyat antara lain, minyak goreng hilang, harga-harga naik, presiden bicara di depan TNI tentang ancaman kenaikan harga dg "mengkambing hitamkan" gangguan eksternal : Covid, perang Rusia-Ukraina.
Dirinya beranggapan, ada beberapa alasan yang membuat masalah tersebut bisa terjadi.
Pertama, Leadership negara terkesan acakadul, acak-acakan & amburadul. Skenario kebangsaan sangat imperialistik : berbasis "konflik liar", devide et impera, bahkan bukan "manajemen konflik".
Kepercayaan publik rendah, sehingga negara membutuhkan represi untuk memaksakan kepatuhan rakyat. Partisipasi publik rendah, kurang didasari kesadaran, malah muncul apatisme dan kepatuhan
Iqbal menegaskan, hanya saat revolusi kemerdekaan 1945 dan revolusi komunis 1965 terjadi kondisi Indonesia seperti kini.
"Bedanya, revolusi 1945 karena faktor kolonialisme dari LUAR, sementara revolusi 1965 dan kini karena faktor kolonialisme dari dalam,"
Menurutnya, ada kesamaan antara era revolusi komunisme 1965 dan era revolusi mental kini : sama-sama ditandai kebangkitan & konsolidasi komunisme.
"Kesamaan lebih mendasar terlihat pada tujuan 3 fase revolusi itu, yaitu : membuat anak bangsa dan umat LELAH, lalu menyerah & apatis, kemudian dijarah & dijajah,"bebernya.
Untuk itu, ada beberapa alasan peran cendikiawan muda sangat dibutuhkan untuk saat ini.
Pertama, Karena cendikiawan cerdas dan peduli, sementara muda itu berani dan murni, sekaligus mumpuni.
Karena mampu membaca puzzle demi puzzle peristiwa secara kritis, memahami polanya, dan mengikhtiarkan solusi.
"Melakukan helicopter views dan membaca pola dari puzzle-puzzle yang ada, lalu mengikhtiarkan gerakan solutif, itu tugas cendekiawan muda. Mulai dari mengurai benang kusut masalah. Menunjukkan arah & muara. Membangun harapan. Menyuntikkan energi yg membangkitkan. Dan kemudian ujungnya, mendorong penyerahan kendali kepada yang berhak dan mampu,"ungkap Iqbal.
Iqbal mengingatkan, penting berhati-hati untuk tidak terjebak dalam pusaran satu-dua puzzle, lalu tersesat & menyesatkan.
Sebagaimana penting bagi cendekiawan muda untuk tidak mudah lelah, apalagi menyerah & apatis, apalagi membiarkan penjarahan & penjajahan berlangsung.
"Tentu saja itu tidak mudah. Apalagi di sebuah era yang mengagungkan revolusi bermodus devide et impera, memecah belah anak bangsa sendiri. Tugas cendekiawan muda menjadi sangat tidak mudah,"urainya.
Tetapi, lanjut Iqbal, sesungguhnya revolusi adalah sahabat quantum cendekiawan muda. Revolusi adalah kawah energi cendekiawan muda. Revolusi adalah jalan cendekiawan muda. Dan, bagi cendekiawan muda, sejarah adalah terserah kita.
"Dalam keadaan semua baik-baik saja, normal-normal saja, dan perubahan sosial berjalan lambat secara evolusioner (bukan revolusioner), maka siapa butuh cendikiawan?,"tanyanya.
Iqbal menyampaikan saat ini terjadi penjarahan konstitusi. Maksudnya konstitusi dijarah untuk kepentingan kekuasaan di bidang apapun juga, seringkali atasnama rakyat.
Contoh Kasus amandemen UUD 1945 dan penundaan pemilu.
"sy sampaikan sebelumnya, amandemen berisi multi-paket kepentingan (paket penguatan DPD, paket kembali ke uud semula termasuk "tanpa batas periode presiden,"katanya.
Yang paling penting, ada mengusulkan wacana penundaan Pemilu itu sendiri, apapun alasannya, merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.
"Jangan tiba-tiba atasnama demokrasi lalu itu boleh boleh saja diusulkan. Itu sebentuk penjarahan konstitusi,"tegasnya.
Bukan hanya itu, saat ini terjadi penjajahan konstitusional. Contoh Kasus : Mega Proyek pemindahan IKN.
Melihat urgensi strategisnya, Iqbal mengatakan pemindahan IKN tidak tepat. Wajar jika lebih terlihat mega proyek bisnisnya, untuk Dewan Konsorsium Pilpres lalu.
"Tidak sulit untuk menganalisa bahwa pemindahan IKN ini lebih merupakan paket "proyek cuan para tuan,"urainya.
Seharusnya urgensi strategisnya adalah perspektif "akselerasi pemerataan pembangunan" dan "pemerataan akselerasi pembangunan". Dan untuk itu, ditambah referensi pengalaman sejumlah negara, solusinya bukan pemindahan IKN, tetapi penambahan IKN.
Pertama, IKN Jakarta untuk wilayah Jawa-Bali-Nusa Tenggara. Kedua, IKN di wilayah Sumatera, 3. IKN di wilayah Sulawesi, 4. IKN di wilayah Kalimantan, 5. IKN di wilayah Maluku-Papua.(ikbal/fajar)