Jangan Sesat Pikir! Profesor Bukan Gelar Tapi Jabatan, Harus Melaksanakan Tridarma

  • Bagikan
Guru Besar Fisika Teoretik FMIPA Universitas Hasanuddin, Prof. Tasrief Surungan

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Pengusulan Menteri Pertanian RI Syahrul Yasin (SYL) Limpo sebagai profesor kehormatan (honorary professor) menuai pro kontra.

Senat Akademik (SA) Universitas Hasanuddin menolak usulan tersebut. Penolakan pemberian profesor kehormatan terhadap SYL itu tertuang dalam surat yang ditandatangani Sekretaris Senat Akademik, Prof Dr Ir Abdul Latief Toleng, MSc untuk ditujukan kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi.

Sementara pihak yang mengusulkan yakni rektor Universitas Hasanuddin, Prof. Dwia Aries Tina Pulubuhu menyebut bukan ranah senat akademik untuk mengeluarkan surat penolakan maupun persetujuan pengangkatan guru besar.

Melainkan kata dia, senat hanya memberi pertimbangan kepada rektor. Pemberian gelar profesor kehormatan hanya dilakukan oleh pimpinan tertinggi universitas, yaitu rektor.

Prof. Dwia Aries pun menegaskan, SYL sudah sangat layak diberi gelar profesor kehormatan dari Unhas. Mengingat kontribusinya sudah sangat banyak untuk masyarakat.

Anggota Dewan Professor sekaligus Guru Besar Fisika Teoretik FMIPA Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Tasrief Surungan mengungkapkan ada sesat pikir yang selama ini berkembang di masyarakat.

Karena sering dipandang bahwa professor itu adalah gelar akademik, padahal bukan. Professor itu adalah jabatan akademik puncak di universitas.

Menurutnya, istilah professor kehormatan (honorary professor) sebenarnya dimaksudkan untuk mengakomodasi kalangan profesional non-akademik yang memiliki capaian luar biasa agar bisa berkontribusi dalam kegiatan tridarma di perguruan tinggi.

"Professor itu adalah jabatan akademik puncak di universitas. Di bawahnya ada jenjang lektor kepala dan lektor serta asisten ahli. Konsekuensi dari keberadaanya sebagai jabatan, dan bukan sebagai gelar, adalah bahwa yang menyandang profesor harus menjalankan tugas-tugas tridarma," papar Prof Tasrief saat dihubungi fajar.co.id, Rabu (9/3/2022).

Penyebab salah kaprah bahwa profesor adalah gelar puncak karena sebelumnya ada Doctor Honoris Causa (HC) yang notabene merupakan gelar, dalam hal ini Doktor kehormatan.

Jadi sekali lagi, Doctor itu gelar akademik, sedangkan Professor adalah jabatan Akademik.

Terlanjur memandang professor sebagai gelar akademik sesudah Doktor (PhD), sehingga banyak yang ingin menyandang jabatan profesor.

Memang ada kualifikasi di atas doktor, yaitu menempuh pendidikan pascadoktor (Postdoctoral=PD), namun PD lebih merupakan pekerjaan atau training tambahan bagi fresh PhD, bukan untuk perolehan gelar tambahan.

Di negara maju, seperti di AS dan Jepang, seorang menjadi tenaga akademik (dosen), pada umumnya setelah menjalani program pascadoktor minimal 2 tahun.

Ada pula kualifikasi yang disebut Doctor of Science (D.Sc). Kalau yang ini, memang adalah gelar akademik yang lebih tinngi dari PhD.

Di Australia dan Inggris, atau di negara-negara persemakmuran lainnya (Commonwealth), sejumlah universitas menawarkan gelar D.Sc.

Gelar ini diperoleh setelah seseorang memperoleh PhD/Doktor, dan dalam kurun waktu tertentu, katakanlah 20 tahun aktif melakukan pengkajian ilmiah dan menemukan sejumlah kontribusi (invensi).

Temuan-temuan itu kemudian dikompilasi dalam bentuk disertasi dan kemudian diajukan ke Universitas untuk ditelaah sebagai bagian dari mekanisme sebelum penganugrahan D.Sc.

"Pembimbing saya, Jaan Oitmaa di UNSW Sydney, menyandang kualifikasi D.Sc. atas sejumlah temuannya dalam bidang Fisika Teoretik Bahan Mampat (Theoretical Condensed Matter)," ungkap Prof Tasrief.

Lebih jauh dijelaskan, di tanah air, gelar setelah PhD tidak ada, sehingga profesor yang hakekatnya adalah jabatan akademik dianggap sebagai gelar akademik.

Penganugrahan profesor kehormatan dengan demikian, dipandang sebagai penganugrahan gelar, setingkat lebih tinggi dari penganugerahan Doctor Honoris Causa.

"Professor, baik yang reguler maupun kehormatan, adalah jabatan. Karena ia jabatan, maka ia berkonsekuensi bekerja, alias melaksanakan kewajiban sesuai dengan tupoksinya," tekannya lebih lanjut.

Dalam pemberian gelar, tidak ada kontrak untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Sementara untuk pengangkatan professor, ada kontrak kewajiban, jika tidak dipenuhi, maka jabatan profesor itu bisa dicabut.

Artinya, seorang setelah diangkat, menjadi professor, maka harus melaksanakan Tridarma.

Pengangkatan seorang menjadi profesor nuansanya berbeda dengan penganugerahan gelar.

Dalam penganugrahan gelar, nuansanya adalah pesta, sedangkan pengangkatan dalam suatu jabatan adalah teken kontrak atau pengambilan sumpah. (dra/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan