Anggota Dewan Profesor: Profesor Kehormatan Wajib Melaksanakan Tridarma dan Bisa Diberhentikan

  • Bagikan
Guru Besar Fisika Teoretik FMIPA Universitas Hasanuddin, Prof. Tasrief Surungan

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Anggota Dewan Professor sekaligus Guru Besar Fisika Teoretik FMIPA Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Tasrief Surungan mengingatkan kembali terkait Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 38 Tahun 2021 Tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi.

Bahwa yang dimaksud dengan profesor kehormatan adalah jenjang jabatan akademik profesor pada perguruan tinggi yang diberikan sebagai penghargaan kepada setiap orang dari kalangan nonakademik yang memiliki kompetensi luar biasa.

"Bahwa Permendikbudristek Nomor 38 Tahun 2021 yang menjadi dasar pengangkatan kalangan non-akademik menjadi Professor kehormatan terlanggar secara subtantif ketika yang diangkat adalah seorang menteri yang notabene merupakan pembantu Presiden," jelas Prof Tasrief kepada fajar.co.id, Kamis (17/3/2022).

Menurutnya ada logika sederhana dan sangat dasar. Menteri itu adalah pembantu presiden, dan presiden adalah kepala negara, jabatan paling tinggi di tanah air.

Semua jabatan struktural, atasan paling puncaknya adalah presiden. Atasan langsung seorang menteri adalah presiden. Dalam Permen Nomor 38 yang disebutkan tadi, pada Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa Professor kehormatan diangkat oleh seorang menteri atas usul pimpinan Perguruan Tinggi (Rektor).

Ayat 2 pada pasal yang sama menyebutkan bahwa pengangkatan tersebut dilaksanakan oleh pemimpin Perguruan Tinggi.

"Di sini jelas, bahwa secara hirarkis, seorang menteri tidak disasar untuk diangkat sebagai Professor Kehormatan (PK), sebab akan berkonsekuensi menteri membawahi seorang menteri," katanya.

Bahkan, lanjut Tasrief, saat pengangkatan di Perguruan Tinggi, menteri diangkat oleh rektor, sesuatu yang lagi-lagi aneh, sebab seorang yang sudah sangat terhormat (pembantu presiden), diangkat oleh seseorang yang notabene bawahan dari seorang Dirjen/Menteri. Dengan perkataan lain, ia diangkat atau diberi tugas oleh bawahannya.

"Disinilah perlunya meluruskan salah kaprah, bahwa Professor itu, termasuk Professor kehormatan, bukan gelar, melainkan jabatan," tegasnya.

Pengangkatan seseorang menduduki jabatan, berkonsekuensi bahwa yang bersangkutan akan melaksanakan tugas, sesuai tupoksinya.

Dalam hal diangkat sebagai professor kehormatan (PK), yang bersangkutan wajib melaksanakan tugas tridarma, yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12.

Dikatakan, pemenuhan kewajiban melaksanakan tridarma oleh Professor kehormatan, dievaluasi secara teratur dan jika tidak memiliki kinerja dan kontribusi, maka yang bersangkutan diberhentikan.

Pasal ini menekankan bahwa jabatan sebagai professor kehormatan adalah pekerjaan full time, bukan sambilan.

"Sebab itu, tidak masuk akal, alias melanggar logika bernegara jika seorang menteri bersedia menerima jabatan sebagai PK," imbuhnya.

Prof Tasrief kemudian menyarankan kepada presiden perlu mengingatkan para menterinya agar sungguh-sungguh mengurus kementeriannya, jangan nyambi di tempat lain.

Pada saat yang sama, pimpinan perguruan tinggi harus cermat, jangan melakukan blunder, mengangkat pembantu presiden sebagai professor kehormatan, sebab itu merupakan pelanggaran subtantif terhadap peraturan yang mendasarinya.

Lebih daripada itu kata Prof Tasrief, seorang menteri juga harus sadar bahwa jabatan menteri adalah jabatan yang sudah sangat terhormat. (*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan