Para diplomat mengatakan, serangan senjata kimia Rusia di Ukraina, atau pemboman besar-besaran di ibukotanya Kyiv, bisa dikatakan sebagai pemicu embargo energi itu. Di mana Rusia mengatakan pihaknya hanya menargetkan infrastruktur militer, bukan sipil.
Seperti dilaporkan Reuters, negara-negara Baltik termasuk Lithuania mendorong embargo sebagai langkah berikutnya. Sementara Jerman, yang sangat bergantung pada gas Rusia, memperingatkan agar tidak bertindak terlalu cepat karena harga energi yang sudah tinggi di Eropa.
"Tidak dapat dihindari kita mulai berbicara tentang sektor energi, dan kita pasti dapat berbicara tentang minyak karena itu adalah pendapatan terbesar untuk anggaran Rusia," ujar Menteri Luar Negeri Lithuania, Gabrielius Landsbergis.
“Melihat sejauh mana kehancuran di Ukraina saat ini, sangat sulit untuk menyatakan bahwa kita seharusnya tidak bergerak di sektor energi, khususnya minyak dan batu bara,” ujar Menteri Luar Negeri Irlandia Simon Coveney sebelum pertemuan itu terjadi.
Sementara itu Menteri Luar Negeri Jerman, Annalena Baerbock mengatakan, “gambar-gambar (hasil perang) yang sampai ke kita dari Ukraina sangat memilukan”. Namun Annalena menolak menjawab pertanyaan tentang apa yang bisa memicu sanksi terhadap sektor energi Rusia itu.
Selain Jerman, ada juga Belanda yang cenderung tidak ingin menjatuhkan sanksi kepada Rusia dengan secepat mungkin.
Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte mengatakan, negara-negara Uni Eropa masih sangat bergantung pada minyak dan gas Rusia untuk pasokan energi mereka dan tidak bisa begitu saja memutuskan hubungan mereka dalam waktu singkat.