Stafsus Menkeu Sebut Utang Negara Meningkat Mulai Era SBY, Demokrat: Dulu Proporsi Fiskal untuk Membangun Lebih Besar

  • Bagikan
Wasekjend DPP Demokrat, Ossy Dermawan. (int)

FAJAR.CO.ID, JAKARTA- Wasekjen Partai Demokrat, Ossy Dermawan menanggapi pernyataan staf khusus Menteri Keuangan, Prastowo Yustinus yang membandingkan jumlah nominal utang negera di era Presiden Jokowi dan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Mulanya, Prastowo Yustinus mengakui bahwa utang pemerintah saat ini tembus Rp7.014,6 triliun.

Tetapi lain sisi dia bilang utang negara mengalami peningkatan secara nominal di era pemerintahan SBY.

Ossy Dermawan menanggapinya. Dia menilai perbandingan yang disampaikan Prastowo tidak adil.

"Yang disampaikan mas Prastowo untuk melihat peningkatan utang dalam bentuk nominal saja, tentu ini merupakan perbandingan yang kurang adil," katanya, Jumat 8 April 2022.

Ossy mengatakan, perbandingan itu kurang adil karena nominal utang yang dipaparkan setiap tahunnya akan terpengaruh oleh inflasi.

"Artinya, utang Rp1 juta tahun 2022 ini tidak dapat diperbandingkan dengan utang Rp1 juta tahun 2005 dulu, karena daya belinya pada tahun tersebut juga pasti berbeda," katanya.

Dia menjelaskan, untuk menghilangkan efek inflasi, nilai utang harus dinyatakan dalam bentuk relatif.

"Yaitu dengan membagi besaran utang di tahun tertentu dengan suatu variabel lain di tahun yang sama misalnya GDP (produk domestik bruto-red). Sehingga, terbentuklah Debt-to-GDP ratio" papar Ossy.

"Satuan pengukuran Debt adalah Rp, satuan pengukuran GDP juga Rp, sehingga rasio tersebut (Rp dibagi Rp) merupakan indeks yang sudah tidak dipengaruhi inflasi," katanya.

Diimbuhkannya, bahwa, selain tidak dipengaruhi inflasi, rasio tersebut juga mengandung makna yaitu: untuk menghasilkan Rp1 GDP, berapa Rp Debt yg digunakan.

"Debt-to-GDP ratio, kata dia, berhasil diturunkan oleh SBY dari sekitar 56% pada tahun 2004 menjadi sekitar 24% pada tahun 2014, selama 10 tahun.

"Kalau sekrang Debt-to-GDP ratio tersebut naik lagi menjadi sekitar 40%, silahkan rakyat menilainya," katanya.

Ossy melanjutkan, dengan rasio utang terjadap GDP yang makin dikurangi di era SBY, indikasikan relatif kecilnya utang untuk hasilkan GDP.

"Relatif kecilnya utang berarti beban fiskal pemerintah untuk bayar bunga dan pokok utang tersebut jadi lebih kecil. Sehingga besaran fiskal yang tersedia untuk dorong ekonomi jadi lebih besar" katanya.

"Itulah sebabnya (di antara beberapa penyebab lain) mengapa laju pertumbuhan ekonomi SBY lebih tinggi dibanding Jokowi," tuturnya.

"Karena, proporsi fiskal untuk membangun relatif lebih besar, sehingga hasilnya (laju pertumbuhan ekonomi alias GDP growth) di masa SBY lebih tinggi dibandingkan saat ini" papar Anak buah AHY ini.

Kata dia, Menteri Keuangan di era SBY sama. Yaitu Sri Mulyani. lalu mengapa kinerja ekonominya berbeda?

"Jawabnya, to some extent, leadership matters" paparnya.

Dia menjelaskan bahwa kepemimpinan SBY menyebabkan semua sektor bergerak. Bukan 1 atau 2 sektor saja seperti infrastruktur. Resultantenya, struktur perekonomian jadu semakin kokoh.

"Jika ada yang menyampaikan bahwa perekonomian kita saat ini menurun karena Covid, mungkin ada benarnya. Namun, data menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi RI sebelum pandemi pun sudah memiliki trend yang menurun atau paling tidak stagnan," pungkas Ossy. (ikbal/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan