FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Keputusan pemerintah yang melarang ekspor Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit sampai batas waktu tidak ditentukan, mendapat tanggapan berbagai pihak. Selain keluhan pengusaha dan petani sawit, juga disampaikan asosiasi ekspor tanah air.
Ketua Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Sulselrabar, Arief R Pabettingi menyampaikan, keputusan tersebut sebenarnya terlambat. Sebab di saat minyak goreng sudah langka dan harganya melonjak saat ini, melarang ekspor bahan baku minyak goreng disebut kurang pas.
"Apakah pemerintah bisa mengantisipasi bila stok membeludak dan harga makin turun di tanah air. Yang dirugikan petani kita," kata Arief, Senin, 25 April 2022.
Berbeda ketika keputusan itu diambil saat awal-awal langkanya minyak goreng sebagai antisipasi stok dalam negeri. Menurutnya, langkah tepat adalah memperbaiki distribusi dan stok yang ada alam negeri.
Sebagai perbandingan kebutuhan CPO dalam negeri untuk menghasilkan minyak goreng berkisar 5 juta ton, sementara ekspor bisa mencapai 50 juta ton per tahun dengan potensi pendapatan dari pajak mencapai Rp500 triliun. Bila semua stok CPO tersebut beredar di dalam negeri dikhawatirkan justru tidak mampu terserap dan makin menurunkan harga yang berimbas ke petani.
Arief mencontohkan petani sawit yang tidak punya mesin tentu sangat dirugikan dengan melonjaknya stok CPO alias TBS. Berbeda dengan perusahaan sawit yang juga sebagai penggarap, mereka memiliki mesin produksi yang relatif bisa mengatur stok dan produksinya. Di Sulselrabar sendiri tersebar area perkebunan sawit seperti di Luwu Raya maupun Mamuju, Mamuju Tengah hingga Pasangkayu, Sulbar. (nasrunnur/fajar)