Teringat, ketika saya dan kawan-kawan tersisa yang masih di jalan tahun 1999, Fahri sudah menjadi Staf Ahli MPR. Berikutnya tahun 2004 Fahri dilantik menjadi anggota DPR, sementara saya dan kawan-kawan masih dipukuli dan ditangkapi.
Tahun 2008, kantor pengacara saya dipasang Police Line. Saya dikejar hingga jadi “gelandangan,” berkeliling dari kota ke kota, lalu jadi pengumpul trolly di berbagai pusat perbelanjaan negara orang.
Tahun 2010 saya dipukuli hingga babak-belur oleh belasan Polisi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Fahri, kita beda pilihan, beda jalan dan yang saya pilih adalah jalan yang sulit, menyakitkan dan tidak menyenangkan. Walau demikian toh saya tidak pernah usil mengkritik dan mempertanyakan pilihan politik masing-masing orang.
Termasuk mengkritik Fahri saat itu sedang menikmati kursinya sebagai anggota DPR RI. Tanggal 13 Maret 2007, DPR RI memutuskan agar penyidikan kasus Trisakti dan Semanggi, tidak diteruskan.
Saat itu bukankah Fahri yang mengaku aktivis 98, juga sudah menjadi anggota DPR dan berada di komisi III, komisi terkait hukum dan HAM? Saya kecewa, tapi juga tak menghakimi Fahri. Walau, sebagai pimpinan Komisi III, tentunya Fahri bisa berusaha melawan penghentian penyidikan itu bukan?
Tahun 2014 saya baru terpilih menjadi anggota DPR, sementara Fahri kembali terpilih yang ketiga kalinya. Saat menuju pemilihan pimpinan DPR, Fahri bersama sebagian anggota DPR mengubah UU MD3, agar partai pendukung capres yang kalah bisa menguasai seluruh Pimpinan DPR.