"Ketika mereka memisahkan agama dalam kehidupan sosial, ekonomi mereka maju, pendidikan mereka maju. Semuanya maju. Beda dengan Indonesia yang cuma agamanya doang yang maju. Pernah dengar ada kerusuhan rasial di Singapura? Meski agama penduduk di Singapura mayoritas Buddha tapi di sana nggak ada keistimewaan untuk mereka yang beragama Buddha ukuran pemerintah Singapura adalah kemajuan dan kemakmuran. Bukan akhirat. Beda dengan Myanmar yang juga mayoritas beragama Buddha, tapi negaranya sibuk sekali dengan masalah agama," terangnya.
Dampaknya, investor asing berbondong-bondong menanamkan uangnya ke Singapura.
"Siapapun bebas melakukan apa saja di Singapura. Tapi dengan syarat tak boleh mencampuri masalah politik dan agama. Itu belum keras. Yang lebih keras lagi ketika Singapura mengeluarkan UU Terorisme mereka yang, dalam UU itu, pemerintah Singapura bisa menangkap siapa saja yang berpotensi membuat kerusuhan rasial di negara itu tanpa harus lewat proses hukum biasa," tuturnya.
Dikatakan, orang baru niat berbuat rusuh saja ketika terdeteksi langsung bisa ditangkap oleh Polisi Singapura.
"Singapura memang negara otoriter. Mereka tidak pernah membiarkan demokrasi secara politik. Demokrasi hanya ada di ekonomi itu aja. Politik adalah wilayah pemerintah bukan warganegara," urainya.
Denny Siregar berpendapat seharusnya UAS bersyukur karena ditolak masuk ke Singapura.
Ia khawatir UAS akan menyampaikan ceramah yang berisi penghinaan pada agama lain dan membuat perpecahan di Negeri Singa tersebut.