FAJAR.CO.ID, BANYUMAS - Politikus PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko menilai saat ini terlalu dini untuk membicarakan siapa capres yang akan memimpin Indonesia ke depan.
Menurutnya, masih ada waktu dua tahun lagi untuk menuju Pilpres 2024. "Kasihan Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo) baru ke pilih sudah pusing soal pandemi, tiba-tiba baru ambegan (ambil napas) dia mau kita cuekin gara-gara sudah mikir presiden berikutnya. Padahal, yang dia kerjakan itu harus terjamin keberlangsungannya," tuturnya di Banyumas, Senin (27/6).
Dia juga enggan mengomentari dukungan sejumlah pihak kepadanya untuk maju sebagai bacapres pada Pemilu 2024. Budiman Sudjatmiko mengaku sudah menyampaikan sikapnya terkait pencalonan tersebut. Hal itu sudah dia tegaskan dalam Rapat Kerja Nasional PDIP bahwa masalah capres merupakan hak prerogatif ketua umum.
"Lagi pula saya tidak terlalu antusias untuk bicara rutinitas ganti presiden, seperti yang dikatakan juga oleh Bu Mega (Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri), yang dibutuhkan Indonesia adalah pemimpin," katanya menegaskan.
Budiman mengatakan saat sekarang yang harus tumbuh adalah kualifikasi-kualifikasi pemimpin seperti apa yang dibutuhkan untuk memimpin Indonesia ke depan.
Menurut dia, kualifikasi pemimpin ada dua jalan, yakni aspek kuantitatif dan aspek kualitatif.
"Nah menurut saya, yang terlalu heavy, terlalu berat, sekarang banyak orang ngomong kuantitatifnya ya, yang kualitatifnya kurang. Indonesia mau dibawa ke mana setelah jadi pemimpin itu jarang terbicarakan," ujar pria asli Cilacap itu.
Dalam hal ini, dia mengibaratkan presiden sebagai seorang sopir, sedangkan Indonesia merupakan bus yang akan dibawa. Menurut dia, yang terjadi saat ini membicarakan siapa sopirnya, tetapi tidak pernah dibicarakan bus yang akan dikemudikannya itu mau dibawa ke mana.
"Jadi, saya tidak terlalu tertarik bicara sopir. Saya lebih tertarik bus Indonesia ini mau dibawa tujuannya ke mana," ucapnya menegaskan.
Budiman mengaku tidak menganggap serius jika saat sekarang orang-orang meneriakkan "ini jadi sopirnya" atau "itu jadi sopirnya".
Dia menyayangkan dalam waktu dua tahun yang masih tersisa ini, sudah meneriakkan siapa yang akan menjadi presiden ke depan. "Padahal, kita belum menentukan bus itu mau ke mana, perjalanan dua jam lagi, kita belum menentukan mau pergi ke mana, kita sudah ributkan sopirnya," imbuh Budiman.
Menurut dia, persoalan ke depan itu jalannya terjal, kanan-kiri jurang, gelap, berkabut, dan naik-turun. "Itu yang saya tahu, yang saya pelajari. Kenapa tidak kita pikirkan dalam menghadapi medan yang terjal seperti itu, butuh sopir yang seperti apa, bukan 'waton' sopir, bukan asal sopir," ucapnya.
Oleh karena itu, kata dia, dalam waktu dua tahun yang masih tersisa, sekitar 1,5 tahun di antaranya digunakan untuk membicarakan sosok pemimpin seperti apa yang dibutuhkan untuk memimpin Indonesia ke depan, dan setengah tahun kemudian barulah membicarakan siapa yang akan dicalonkan sebagai presiden.
Menurut dia, dalam demokrasi membutuhkan aspek kuantitatif bagi seorang presiden, tetapi Indonesia membutuhkan aspek kualitatif bagi seorang pemimpin. "Kalau presiden cukuplah sekadar electoral dan kuantitatif, bahkan cuantitatif juga. Namun, kalau kepemimpinan, kita butuh aspek kualitatif," katanya.
Oleh karena yang dibicarakan adalah kepemimpinan Indonesia, kata dia, sebaiknya menggunakan waktu yang ada untuk bicara yang aspek kualitatifnya lebih dahulu daripada siapa yang akan jadi presidennya.
Menurut dia, aspek kualitatif itu meliputi ide, mau dibawa ke mana bangsa Indonesia, dan seperti apa jalan yang akan ditempuh karena persoalan popularitas itu gampang diatur karena merupakan hal teknis.
"Nanti kalau semua itu sudah diketahui, berarti kita butuh sopir yang biasa di offroad, bukan di F1, bukan jalan mulus, misalnya, seperti itu atau gabungan keduanya. Kita belum mendefinisikan itu kok, belum menjadi perbincangan masyarakat kita mau ke mana," papar Budiman. (ant/jpnn/fajar)