Judha menjelaskan, sejak awal penyusunan MoU, Indonesia secara tegas menolak penggunaan SMO. Sistem itu dinilai membuat posisi PMI rentan tereksploitasi.
”Karena sistem ini mem-bypass UU 18 Tahun 2017 mengenai perlindungan pekerja migran kita,” tegasnya.
Para PMI, lanjut dia, yang berangkat ke Malaysia akhirnya tidak melalui tahapan-tahapan persiapan yang benar. Misalnya, tidak melalui pelatihan dan penjelasan kontrak kerja.
”Mereka masuk Malaysia menggunakan visa turis yang kemudian dikonversi ke visa kerja. Ini menjadikan PMI rentan tereksploitasi,” keluhnya.
Kementerian dan lembaga terkait telah mengadakan rapat khusus untuk membahas masalah itu. Hasilnya, diputuskan untuk menghentikan sementara waktu penempatan atau pengiriman PMI ke Malaysia hingga ada klarifikasi, termasuk komitmen untuk menghentikan SMO dalam penempatan PMI domestik di Malaysia. Hal itu pun telah disampaikan KBRI Kuala Lumpur kepada pihak Kementerian Sumber Daya Manusia Malaysia.
Dari keterangan resmi yang dikeluarkan pihak kementerian, mereka berjanji segera membahas isu tersebut dengan Kementerian Dalam Negeri Malaysia. Mengingat SMO berada di bawah Kementerian Dalam Negeri Malaysia.
Dihubungi terpisah, Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah menuturkan, sejak awal ditandatanganinya MoU Indonesia-Malaysia, pihaknya sudah mewanti-wanti pemerintah Indonesia mengenai implementasi. Terlebih, Malaysia memiliki sistem maid online dan sangat merugikan jika diterapkan.
”Tapi, pemerintah mengatakan bahwa dalam MoU menggunakan one channel system dan itu berbeda. Tapi, terbukti yang digunakan Malaysia, sistem maid online,” paparnya.