FAJAR.CO.ID -- Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), menjelaskan efek samping produk kosmetik berbahaya yang tersebar secara konvensional dan online.
Kepala BBPOM Makassar Sulsel, Hardaningsih, menjelaskan, penertiban produk kosmetik ilegal dan berbahaya tak hanya menyasar pasar konvensional tetapi juga melakukan pemeriksaan toko kosmetik online.
Menurutnya, budaya belanja masyarakat yang banyak bergeser ke media daring membuat semakin maraknya persebaran kosmetik ilegal dan berbahaya di tengah masyarakat
"Berdasarkan keterangan pemilik sarana, sumber pembelian produk sebagian besar dibeli secara online, dan beberapa berasal dari sumber yang tidak jelas atau sales yang tidak diketahui identitasnya," ungkap Hardaningsih, Selasa (2/7/2022).
Dari hasil penertiban, BBPOM Makassar menyita sebanyak 697 item kosmetik ilegal dan berbahaya dari empat Kabupaten Kota yaitu Makassar, Sidrap, Pinrang dan Sinjai. Pihaknya pun telah mengamankan sejumlah pelaku penyebar kosmetik ilegal dan berbahaya itu.
"Ada tersangka, ada nanti beberapa kasus sekitar tiga yang akan ditindaklanjuti, yang akan ditindaki. Ada pembuat, pemilik, dan penyalur," tuturnya.
Hardaningsih melanjutkan, kebanyakan produk ilegal yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan BPOM, mengandung bahan berbahaya dan memiliki efek samping pada kulit.
"Kalau untuk kosmetik itu, merkuri, hydropino, rata-rata untuk produk pemutih Kalau efeknya pasti lama-lama akan merusak kulit,"
Selain itu kosmetik yang mengandung bahan berbahaya juga dapat menyebabkan penyakit serius dalam tubuh manusia karena bahan pada kosmetik tersebut menyerap ke dalam kulit.
"Tapi ada efek yang lebih berbahaya sebenarnya karena zat-zat tersebut itu bersifat Karzinogenik yang menyebabkan kangker dan ada beberapa bahan juga yang berpengaruh terhadap janin atau yang namannya terapogenik," jelas Hardaningsih.
Berdasarkan kerugian yang dapat ditimbulkan, pelaku pembuat ataupun penyebar produk kosmetik ilegal dan mengandung bahan berbahaya, dapat dikenakan pasal 196 dan pasal 197 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. (Multazim/Fajar)