FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Usulan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan untuk melakukan revisi Undang-undang (UU) TNI untuk mengatur penempatan tentara di jabatan-jabatan kementerian dikritik DPR.
Dikabarkan, Luhut mengusulkan revisi Undang-Undang TNI untuk mengatur penempatan tentara di jabatan-jabatan kementerian.
Usulan tersebut akan disampaikan bersamaan dengan usulan revisi UU TNI yang akan diserahkan pemerintah ke DPR.
Anggota Komisi I DPR RI Dave Laksono angkat suara usulan Menko Kemaritiman dan Investasi merevisi Undang-undang TNI agar tentara aktif bisa kembali menduduki jabatan sipil.
Ia mengatakan revisi Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 sama saja dengan menghidupkan kembali dwifungsi ABRI yang memperbolehkan anggota TNI aktif menduduki jabatan sipil.
"Kita harus menjaga semangat reformasi agar tidak sampai kembali ke era sebelumnya di mana adanya dwi fungsi ABRI," kata Dave kepada awak media dalam keterangannya, Selasa 16 Agustus 2022.
Menurutnya, rencana yang diusulkan agar perwira TNI aktif bisa menduduki jabatan sipil saat ini tak lebih penting dari kebutuhan untuk menjaga profesionalitas.
Dave memahami dalam beberapa tugas, kementerian atau lembaga negara membutuhkan profesionalitas dan model kepemimpinan TNI.
Namun, keperluan itu tak lebih mendesak daripada kebutuhan untuk tetap memelihara supremasi sipil.
"Akan tetapi yang paling penting harus tetap dijaga adalah supremasi sipil dalam menjalankan roda pemerintahan dan roda demokrasi yang hidup di Indonesia," katanya.
Sebelumnya, Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan mengkritik wacana revisi Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Revisi itu diwacanakan untuk menempatkan perwira aktif di berbagai jabatan sipil, karena langkah mundur bagi reformasi dan semangat profesionalisme TNI.
Dia menjelaskan, salah satu agenda dan amanat besar reformasi adalah menempatkan TNI sebagai alat utama sistem pertahanan. Membuka keran peran sosial politik TNI di institusi sipil sama saja dengan mengkhianati semangat reformasi.
"Bahkan ini akan membuat bias fungsi pertahanan yang diemban oleh militer, apalagi tantangan global dalam menghadapi perang teknologi, asimetri, dan siber semakin nyata," kata Syarief Hasan dalam keterangannya, Sabtu, 13 Agustus 2022.
Dia mengkritik wacana revisi UU TNI yang membuka ruang penempatan pejabat militer aktif di berbagai institusi kementerian/ lembaga maupun institusi sosial politik lainnya.
Menurut dia, wacana tersebut bertentangan dengan semangat Reformasi TNI, bahkan kontraproduktif dan akan mengembalikan dwifungsi ABRI sehingga dikhawatirkan akan kembali mengulang kesalahan dan kegagalan fungsi pertahanan era Orde Baru.
"Peran dan fungsi TNI harus dipertajam/diperkuat. Kita semua menyadari kedaulatan nasional kita acapkali terancam, kekayaan laut kita dijarah, tumpang tindih klaim wilayah NKRI oleh negara lain, serta kondisi alutsista yang masih tertinggal," ujarnya.
Menurut dia, hal yang terpenting adalah penguatan fungsi pertahanan dalam menjaga kedaulatan NKRI, sehingga energi militer harus difokuskan sepenuhnya, jangan justru membuat bias menjadikan militer memerankan fungsi sosial politik.
Karena itu dia menilai, wacana revisi UU TNI tidak krusial dan tidak kontekstual. Menurut dia, isu strategis yang harus didorong adalah pemenuhan kekuatan pokok minimum (MEF), kesejahteraan prajurit, penegakan kedaulatan wilayah NKRI terutama di wilayah terdepan dan terluar, serta peningkatan kapasitas TNI dalam menghadapi perang asimetris.
"Saya mendukung segala bentuk penguatan fungsi pertahanan dalam kerangka menegakkan kedaulatan NKRI, tetapi bukan dengan cara mengembalikan peran militer dalam kehidupan sosial politik," tuturnya.
Syarief mengatakan, revisi UU TNI dengan maksud menempatkan perwira aktif di institusi kementerian/ lembaga sipil adalah langkah mundur yang harus ditolak. Dia mengaku bersyukur Presiden Joko Widodo menolak usulan revisi UU TNI.
Selain itu dia menyadari bahwa di Kementerian Pertahanan terdapat banyak Perwira Tinggi yang memiliki kapasitas dan integritas tinggi, namun memiliki ruang sempit sehingga tidak memiliki jabatan dan jenjang yang terbatas.
"Masalah itu yang harus diselesaikan di intern TNI AD bukan dengan mewacanakan kebijakan mundur atau mencederai semangat reformasi yang digagas TNI AD sejak era reformasi antara lain oleh Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono," ujarnya.
Syarief menilai apabila perwira TNI AD yang masih aktif tersebut ingin berkarier di jabatan sipil/ politik, maka pilihannya adalah mundur terlebih dahulu sesuai yang diatur UU TNI, bukan dengan merevisi UU tersebut. (fin)